Bagaimana memberi pernyataan yang positif itu?
Pertama, saling mengenal baik antara pembicara dan audiennya. Dua tokoh politik harus saling mengenali masing-masing. Â Tokoh yang berbicara dengan pers, perlu mengenali siapa wartawan bagian apa dan dari kantor berita mana. Dengan saling mengenal maka tahu pengetahuan serta background lawan bicara, sekaligus mengukur level pemahaman substansi yang dibicarakan. Â Karenanya ucapan yang disampaikan disesuaikan dengan pemahaman itu.
Sebagai gambaran, politisi yang teknokrat, ia tidak perlu berargumentasi perihal iptek ketika ketemu dengan politisi budayawan; demikian pula sebaliknya. Â Lebih krusial lagi, bila tokoh yang berbicara dengan wartawan, kurang menguasai substansi; dan celakanya wartawan juga gak nyambung. Inilah sumber kesalah pahaman, informasi menjadi tidak proporsional.
Kedua, membatasi pembicaraan. Â Kemampuan mengendalikan diri dalam berucap dimiliki oleh orang yang arif, obyektif, dan matang pengalaman kehidupan. Berbicara sebaiknya yang penting dan perlu, disesuaikan dengan semangat memberi informasi yang positif.Â
Hal-hal yang dilarang yakni membicarakan pihak lain, pihak ketiga, atau orang di luar forum. Ini namanya ghibah, sama dengan membuka aib, merupakan hal yang tabu. Ketika tokoh A dan B bertemu, mereka tidak etis membicarakan tokoh C. Lebih runyam lagi bila hal ini disampaikan kepada wartawan. Â Â
Seandainya pun wartawan memberi pertanyaan ke arah ghibah itu, seorang tokoh harus mampu menjawab diplomatis dan positif. Jawablah perihal diri sendiri dengan rendah hati dan lembut. Jawaban yang sangat disarankan adalah diam atau menjawab no comment. Diamnya tokoh juga bagian dari pembelajaran untuk saling menghormati.
Jenis ucapan lain yang tidak perlu adalah kategori perasaan, persepsi, atau penafsiran. Tokoh atau pemimpin harus obyektif, menguasai data dan informasi yang akurat. Seorang politisi tidak boleh asal menyatakan pengangguran tinggi. Â Ia harus mengungkapkan data pengangguran misalnya, sebesar x persen, di wilayah y, pada tahun z. Ucapan dalam kategori persepsi atau penafsiran yang sering muncul, misalnya KKN marak, saya didzolimi, atau pencitraan.
Ketiga, semangat silaturahim. Sebaik-baik ucapan adalah yang menyambung silaturahim. Kata-kata penuh silaturahim antara lain memotivasi, optimis, mendoakan, sabar, takzim, menggugah untuk bekerja keras atau membangun kesatuan/kebersamaan. Sebaliknya kata-kata yang jauh dari silaturahim adalah yang nyinyir, hoax, buruk sangka, atau menyebar kebencian.
Malang, 27 Juli 2018
Buku yang sudah diterbitkan:
- Iwan Nugroho. 2011. Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 362p. ISBN 978-602-9033-31-1
- Iwan Nugroho dan Rokhmin Dahuri. 2012. Pembangunan Wilayah: Perspektif ekonomi, sosial dan lingkungan. Cetakan Ulang. Cetakan 1 tahun 2004. Diterbitkan kembali oleh LP3ES, Jakarta. ISBN 979-3330-90-2Â
- Iwan Nugroho. Â 2013. Â Budaya Akademik Dosen Profesional. Â Era Adicitra Intermedia, Solo. Â 169p. Â ISBN 978-979-8340-26-0
- Iwan Nugroho dan Purnawan D Negara. 2015. Pengembangan Desa Melalui Ekowisata, diterbitkan oleh Era Adicitra Intermedia, Solo. 281 halaman. ISBN 978-602-1680-13-1Â
- Iwan Nugroho. 2016. Kepemimpinan: Perpaduan Iman, Ilmu dan Akhlak. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 362p. ISBN 9786022296386
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H