Mohon tunggu...
Iwan Nugroho
Iwan Nugroho Mohon Tunggu... Dosen - Ingin berbagi manfaat

Memulai dari hal kecil atau ringan, mengajar di Universitas Widyagama Malang. http://widyagama.ac.id/iwan-nugroho/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Belajar Berucap Positif dari Politisi

27 Juli 2018   18:46 Diperbarui: 29 Juli 2018   12:09 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pbs.twimg.com/media/BmMZHkBCYAArRGS.jpg (inilah.com)

The dog and the rabbit are telling us not to chase unattainable material goals. Kit Williams

Pak SBY adalah salah satu presiden yang tampil relatif sempurna, baik dalam hal gestur, busana, sikap maupun dhawuh (ucapan) nya. 

Saat berada di podium, beliau menyampaikan pandangan dengan tutur kata dan bahasa sangat baik, runtut, jelas dan sistematik. Dalam berbagai forum resmi kenegaraan, beliau menyampaikan pendapatnya sekaligus seolah menyapa audiennya; dengan sedikit improvisasi dari teks yang sudah disiapkan.

Namun, kini setelah tidak jadi presiden. Tampilan beliau, khususnya dalam berucap agak sedikit berubah. Yang tetap adalah beliau masih rapi dan gagah. Yang berubah banyak adalah perihal substansi dan style penyampaiannya.  Ini bisa dipahami karena konteksnya sudah berubah. Sumber bacaan/informasi, substansi, kepentingan atau momentumnya memang berbeda dibanding saat menjadi presiden. 

Baru-baru ini pak SBY menyampaikan suatu pendapat yang agak krusial.  Bahwa komunikasi beliau dengan ibu Megawati dirasakan belum pulih (lihat 1, 2). Ini memancing silang pendapat antar kelompok pendukungnya.

Tulisan ini tidak bermaksud menganalisis hal politik, koalisi, pencapresan atau hal-hal yang berat.  Tulisan ini ingin saling mengingatkan betapa sulitnya berbahasa, menyampaikan hal-hal yang positif, atau mengharga orang lain melalui ucapan. 

Tidak ada panduan khusus bagaimana etika atau cara berucap atau berbahasa yang baik.  Yang ada biasanya terkait dengan norma atau adab kesopanan, mengucap kata-kata yang baik, dan saling menghormati. 

Dalam agama Islam, panduan berucap yang baik ditemukan dalam Al Qalam [68]: 10-11); "Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah. Nabi juga mencontohkan:  "Orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, hendaknya berkata baik jika tidak bisa lebih baik diam" (HR. Bukhari dan Muslim).

Ucapan atau pernyataan verbal yang positif mensyaratkan terpenuhi dua hal, yakni orang yang mengucapkan (sumber) dan orang yang mendengar (penerima). Dua pihak perlu berinteraksi positif dan saling menghargai agar terbangun komunikasi yang positif.  Hasil komunikasi itu juga akan membangun semangat kebersamaan dan persaudaraan.

Hal ini menjadi penting untuk pembelajaran seluruh komponen bangsa. Sebuah ucapan  dapat menjadi sumber pemecah belah ketika ucapannya senantiasa provokatif, menyinggung dan mengganggu keharmonisan. Seorang tokoh, pemimpin, atau politisi wajib menyampaikan ucapan yang menyejukkan.

Kalaupun tidak bisa sejuk, paling tidak membangun konsep tentang persatuan atau keharmonisan. Hindari ucapan bernada SARA, atau yang akhir-akhir ini banyak diungkapkan, yakni menggunakan agama untuk pembenaran dan menyalahkan orang lain.

Bagaimana memberi pernyataan yang positif itu?

Pertama, saling mengenal baik antara pembicara dan audiennya. Dua tokoh politik harus saling mengenali masing-masing.  Tokoh yang berbicara dengan pers, perlu mengenali siapa wartawan bagian apa dan dari kantor berita mana. Dengan saling mengenal maka tahu pengetahuan serta background lawan bicara, sekaligus mengukur level pemahaman substansi yang dibicarakan.  Karenanya ucapan yang disampaikan disesuaikan dengan pemahaman itu.

Sebagai gambaran, politisi yang teknokrat, ia tidak perlu berargumentasi perihal iptek ketika ketemu dengan politisi budayawan; demikian pula sebaliknya.  Lebih krusial lagi, bila tokoh yang berbicara dengan wartawan, kurang menguasai substansi; dan celakanya wartawan juga gak nyambung. Inilah sumber kesalah pahaman, informasi menjadi tidak proporsional.

Kedua, membatasi pembicaraan.  Kemampuan mengendalikan diri dalam berucap dimiliki oleh orang yang arif, obyektif, dan matang pengalaman kehidupan. Berbicara sebaiknya yang penting dan perlu, disesuaikan dengan semangat memberi informasi yang positif. 

Hal-hal yang dilarang yakni membicarakan pihak lain, pihak ketiga, atau orang di luar forum. Ini namanya ghibah, sama dengan membuka aib, merupakan hal yang tabu. Ketika tokoh A dan B bertemu, mereka tidak etis membicarakan tokoh C. Lebih runyam lagi bila hal ini disampaikan kepada wartawan.    

Seandainya pun wartawan memberi pertanyaan ke arah ghibah itu, seorang tokoh harus mampu menjawab diplomatis dan positif. Jawablah perihal diri sendiri dengan rendah hati dan lembut. Jawaban yang sangat disarankan adalah diam atau menjawab no comment. Diamnya tokoh juga bagian dari pembelajaran untuk saling menghormati.

Jenis ucapan lain yang tidak perlu adalah kategori perasaan, persepsi, atau penafsiran. Tokoh atau pemimpin harus obyektif, menguasai data dan informasi yang akurat. Seorang politisi tidak boleh asal menyatakan pengangguran tinggi.  Ia harus mengungkapkan data pengangguran misalnya, sebesar x persen, di wilayah y, pada tahun z. Ucapan dalam kategori persepsi atau penafsiran yang sering muncul, misalnya KKN marak, saya didzolimi, atau pencitraan.

Ketiga, semangat silaturahim. Sebaik-baik ucapan adalah yang menyambung silaturahim. Kata-kata penuh silaturahim antara lain memotivasi, optimis, mendoakan, sabar, takzim, menggugah untuk bekerja keras atau membangun kesatuan/kebersamaan. Sebaliknya kata-kata yang jauh dari silaturahim adalah yang nyinyir, hoax, buruk sangka, atau menyebar kebencian.

Malang, 27 Juli 2018

Buku yang sudah diterbitkan:

  • Iwan Nugroho. 2011. Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 362p. ISBN 978-602-9033-31-1
  • Iwan Nugroho dan Rokhmin Dahuri. 2012. Pembangunan Wilayah: Perspektif ekonomi, sosial dan lingkungan. Cetakan Ulang. Cetakan 1 tahun 2004. Diterbitkan kembali oleh LP3ES, Jakarta. ISBN 979-3330-90-2 
  • Iwan Nugroho.  2013.  Budaya Akademik Dosen Profesional.  Era Adicitra Intermedia, Solo.  169p.  ISBN 978-979-8340-26-0
  • Iwan Nugroho dan Purnawan D Negara. 2015. Pengembangan Desa Melalui Ekowisata, diterbitkan oleh Era Adicitra Intermedia, Solo. 281 halaman. ISBN 978-602-1680-13-1 
  • Iwan Nugroho. 2016. Kepemimpinan: Perpaduan Iman, Ilmu dan Akhlak. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 362p. ISBN 9786022296386

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun