Peminat wisata ke gunung Bromo sudah mengenal banyak tempat yang indah, misalnya Penanjakan, Lautan Pasir, Kawah Bromo, bukit Teletubis, atau Ranupane. Namun mendengar nama obyek puncak B29, merupakan hal baru. Dimanakah tempat yang punya julukan Negeri di atas Awan. Kira-kira itu pertanyaan banyak orang.
Saya mengingat-ingat lagi nama itu, sambil mendengar cerita beberapa orang yang pernah ke puncak B29. Memang saya pernah ditawari untuk pergi ke sana saat berkunjung ke desa Ngadas dua atau tiga tahun lalu.
Saat itu saya kurang tertarik karena lokasinya cukup jauh dari Ngadas, dan harus naik motor ojek melewati ladang, bukit dengan medan yang berat dan berbahaya. Desa Ngadas adalah desa tertinggi di daerah pegunungan Tengger yang terletak di sisi kabupaten Malang. Sementara lokasi puncak B29 masuk wilayah desa Argosari, kecamatan Senduro, kabupaten Lumajang.
Keadaan desa ini mirip desa Ranupane, kuat dengan nuansa pertanian hortikultura. Di depan rumah warga desa, nampak tumpukan keranjang hasil bumi atau mobil-mobil jip atau pickup pengangkut. Ada pura di sudut atau di sekitar rumah warga pemeluk agama Hindu. Mobil kami masih naik terus, hingga masuk jalan berpaving yang berukuran sempit hanya untuk satu mobil.
Di balik awan itu tentu udara bebas atau jurang. Awan itu bukan di atas atau arah langit, tetapi ada di bawah menutup pemandangan jalan, lembah atau jurang. Itulah mengapa desa ini disebut Negeri di Atas Awan.
Di jalan yang sempit ini, kami minta bantuan seorang warga desa untuk pesan motor ojek, sekaligus memandu jalan kalau-kalau ada mobil atau motor di depan agar ditahan. Tidak banyak mobil dari luar desa yang berani masuk ke sini. Kebetulan saja driver kami sudah mengenali wilayah ini dan beberapa orang di desa.Â
Tidak berapa lama, empat motor ojek sudah siap mengantar kami ke puncak B29. Namun, bapak ojek memberitahu bahwa kami akan di antar ke puncak B30 terlebih dahulu sebelum menuju B29.
Ini benar-benar uji nyali, melewati jalan sempit di sisi jurang yang terbentang. Hati berdebar dan aliran darah seolah berhenti..sampai-sampai kami pasrah saja, menutup mata, takut melihat jalan dan jurang itu. Mendekati puncak, jalur makin menanjak dan dipenuhi vegetasi semak belukar. Motor sering melambat meski tekanan gas meninggi. Begitu sempitnya jalur sering tubuh kami menyentuh dan kaki tergores dahan belukar.
Puncak B30 kabarnya memiliki ketinggian 3000 m di atas pemukaan laut. Tapi kata bapak ojek, itu adalah bukit yang ke tiga puluh. Saya tidak tahu mana yang benar. Namun dari google earth, tinggi puncak B30 sekitar 2700 m Jelasnya, B30 adalah puncak tertinggi dari kaldera gunung Tengger kuno, terletak pada arah tenggara gunung Bromo.
Sayangnya, siang itu awan begitu tebal sehingga menghalangi pandangan panorama pegunungan Tengger. Ada saat-saat tertentu awan tersapu angin, tapi tiba-tiba awan lain datang menutup lagi pemandangan. Sekitar 30 menit kami menikmati pemandangan di seitar puncak B30 itu, sebelum kami berpindah ke bukit B29.
Kami kemudian berhenti di area seperti lapangan yang terbuka dan lebih bersih. Ini katanya sudah masuk B29 meski tidak ada petunjuknya. Kami bertemu dengan pengunjung lain, dengan suasana lebih ramai oleh deru motor ojek. Pemandangan disini pun sama indahnya dengan B30, dimana tutupan awan nampak lebih tipis.
 Kami kemudian naik motor lagi menuju arah turun. Rute kemudian memasuki jalanan berpaving menuju tempat yang "tersentuh prasarana wisata". Nah inilah tempat Puncak B29 yang populer itu. Ada gapura, warung, pos, pagar dan bangunan lain untuk pengelolaan, kenyamanan dan keamanan wisata.
Sebaiknya pengunjung datang ke puncak B30 dan B29 di pagi hari karena awan belum terbentuk dan akan menemukan pemandangan yang indah. Di waktu fajar akan nampak matahari terbit yang eksotik dan indah di ufuk timur, dengan sinar kemerahan melukis langit. Begitu matahari sedikit naik, maka akan terlihat lansekap dan panorama kaldera Tengger beserta lautan pasir dan gunung-gunung kecil di sekitarnya.
Kami pun kembali naik motor ojek menuju jalan pulang. Ada rasa syukur dan takjub menemukan pengalaman sekaligus perjalanan ekstrim pada hari itu. Belum tentu kami akan mengulangi lagi.
Malang, 26 Nopember 2017
Penulis menulis buku:
- Iwan Nugroho. 2011. Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 362p. ISBN 978-602-9033-31-1
- Iwan Nugroho dan Rokhmin Dahuri. 2012. Pembangunan Wilayah: Perspektif ekonomi, sosial dan lingkungan. Cetakan Ulang. Diterbitkan kembali oleh LP3ES, Jakarta. ISBN 979-3330-90-2Â
- Iwan Nugroho dan Purnawan D Negara. 2015. Pengembangan Desa Melalui Ekowisata, diterbitkan oleh Era Adicitra Intermedia, Solo. 281 halaman. ISBN 978-602-1680-13-1Â
- Iwan Nugroho. 2016. Kepemimpinan: Perpaduan Iman, Ilmu dan Akhlak. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 362p. ISBN 9786022296386
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H