Mohon tunggu...
Iwan Nugroho
Iwan Nugroho Mohon Tunggu... Dosen - Ingin berbagi manfaat

Memulai dari hal kecil atau ringan, mengajar di Universitas Widyagama Malang. http://widyagama.ac.id/iwan-nugroho/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Uji Nyali Menuju Puncak B29 dan B30

26 November 2017   23:35 Diperbarui: 27 November 2017   03:15 7069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desa Argosari, menuju Puncak B29 (koleksi pribadi)

Peminat wisata ke gunung Bromo sudah mengenal banyak tempat yang indah, misalnya Penanjakan, Lautan Pasir, Kawah Bromo, bukit Teletubis, atau Ranupane. Namun mendengar nama obyek puncak B29, merupakan hal baru. Dimanakah tempat yang punya julukan Negeri di atas Awan. Kira-kira itu pertanyaan banyak orang.

Saya mengingat-ingat lagi nama itu, sambil mendengar cerita beberapa orang yang pernah ke puncak B29. Memang saya pernah ditawari untuk pergi ke sana saat berkunjung ke desa Ngadas dua atau tiga tahun lalu.

Saat itu saya kurang tertarik karena lokasinya cukup jauh dari Ngadas, dan harus naik motor ojek melewati ladang, bukit dengan medan yang berat dan berbahaya. Desa Ngadas adalah desa tertinggi di daerah pegunungan Tengger yang terletak di sisi kabupaten Malang. Sementara lokasi puncak B29 masuk wilayah desa Argosari, kecamatan Senduro, kabupaten Lumajang.

Gapura menuju Puncak B29 (koleksi pribadi)
Gapura menuju Puncak B29 (koleksi pribadi)
 Seiring dengan waktu, nama B29 itu akhirnya makin populer. Beberapa teman bercerita indahnya tempat itu. Ini akhirnya membuat saya makin penasaran, sehingga saya pun akhirnya berkesempatan ke sana.. meski tanpa persiapan karena kebetulan ada kepentingan dinas ke Lumajang. 

peta pegunungan Tegger (koleksi pribadi)
peta pegunungan Tegger (koleksi pribadi)
Kami berlima (termasuk driver) berangkat menuju desa Argosari dari kota Lumajang jam 10 pagi menggunakan mobil. Perjalanan lumayan lancar hingga masuk desa Argosari.

Keadaan desa ini mirip desa Ranupane, kuat dengan nuansa pertanian hortikultura. Di depan rumah warga desa, nampak tumpukan keranjang hasil bumi atau mobil-mobil jip atau pickup pengangkut. Ada pura di sudut atau di sekitar rumah warga pemeluk agama Hindu. Mobil kami masih naik terus, hingga masuk jalan berpaving yang berukuran sempit hanya untuk satu mobil.

Desa Argosari, menuju Puncak B29 (koleksi pribadi)
Desa Argosari, menuju Puncak B29 (koleksi pribadi)
 Disini tidak lagi nampak rumah, tetapi hanya ladang dan jurang. Kami sudah mulai was-was. Maklum kami sudah berusia di atas 50 tahun, bahkan seorang dari kami sudah dipanggil oma. Si Oma pun sudah ketakutan dan pucat, sekali-kali histeris sejak masuk jalan makadam ini. Awan atau kabut yang menutup jalan membuat hati ini makin mengecil.

Di balik awan itu tentu udara bebas atau jurang. Awan itu bukan di atas atau arah langit, tetapi ada di bawah menutup pemandangan jalan, lembah atau jurang. Itulah mengapa desa ini disebut Negeri di Atas Awan.

Di jalan yang sempit ini, kami minta bantuan seorang warga desa untuk pesan motor ojek, sekaligus memandu jalan kalau-kalau ada mobil atau motor di depan agar ditahan. Tidak banyak mobil dari luar desa yang berani masuk ke sini. Kebetulan saja driver kami sudah mengenali wilayah ini dan beberapa orang di desa. 

suasana dusun Argosari dekat puncak B29 (koleksi pribadi)
suasana dusun Argosari dekat puncak B29 (koleksi pribadi)
 Mobil berhenti di sebuah rumah, tepatnya homestay milik pak Paiti. Disini kami turun sambil memakai baju tebal karena akan berganti naik ojek. Udara dingin dan awan menyelimuti dusun kecil ini, yang dihuni beberapa kepala keluarga.

Tidak berapa lama, empat motor ojek sudah siap mengantar kami ke puncak B29. Namun, bapak ojek memberitahu bahwa kami akan di antar ke puncak B30 terlebih dahulu sebelum menuju B29.

Homestay pak Paiti (koleksi pribadi)
Homestay pak Paiti (koleksi pribadi)
Perjalanan ojek pun dimulai, dengan rute yang menanjang dan berkelok. Saya pun terkejut saat motor keluar dari jalan paving masuk ke jalan tanah. Motor mulai melambat dan berat karena medan berat, sempit dan naik. Kami sempat bertukar motor, untuk menyesuaikan kemampuan motor dan beban penumpang.

Ini benar-benar uji nyali, melewati jalan sempit di sisi jurang yang terbentang. Hati berdebar dan aliran darah seolah berhenti..sampai-sampai kami pasrah saja, menutup mata, takut melihat jalan dan jurang itu. Mendekati puncak, jalur makin menanjak dan dipenuhi vegetasi semak belukar. Motor sering melambat meski tekanan gas meninggi. Begitu sempitnya jalur sering tubuh kami menyentuh dan kaki tergores dahan belukar.

Tugu dan Pura di Puncak B30 (koleksi pribadi)
Tugu dan Pura di Puncak B30 (koleksi pribadi)
Tidak lama, sekitar 30 menit, perjalanan mendebarkan itu pun berakhir. Kami tiba di puncak B30. Puncak ini hanya seluas 1 hektare saja, ditandai dengan sebuah patok atau tugu dan pura yang berjajar di kelilingi tembok rendah. Di sekitar tugu hanya ada tanaman belukar kering, dan sebagian nampak bekas terbakar. Puncak B30 berkesan masih alami, belum tersentuh pengelolaan. Disini, pengunjung hanya ada kami berempat ditemani bapak ojek. Memang hari itu bukan hari libur.

Puncak B30 kabarnya memiliki ketinggian 3000 m di atas pemukaan laut. Tapi kata bapak ojek, itu adalah bukit yang ke tiga puluh. Saya tidak tahu mana yang benar. Namun dari google earth, tinggi puncak B30 sekitar 2700 m Jelasnya, B30 adalah puncak tertinggi dari kaldera gunung Tengger kuno, terletak pada arah tenggara gunung Bromo.

Kami berempat di Puncak B30 (koleksi pribadi)
Kami berempat di Puncak B30 (koleksi pribadi)
Kami berjalan dari tugu ke tepi bukit, untuk melihat pemandangan ke sisi lain. Benar disini lebih indah. Kami bisa melihat lautan pasir, dan gunung-gunung Widodaren, Batok dan Bromo di bawah sana.

Sayangnya, siang itu awan begitu tebal sehingga menghalangi pandangan panorama pegunungan Tengger. Ada saat-saat tertentu awan tersapu angin, tapi tiba-tiba awan lain datang menutup lagi pemandangan. Sekitar 30 menit kami menikmati pemandangan di seitar puncak B30 itu, sebelum kami berpindah ke bukit B29.

Puncak B29 (koleksi pribadi)
Puncak B29 (koleksi pribadi)
 Perjalanan dari B30 ke bukit B29 hanya berjarak 500 m, ke arah selatan menurun dengan medan masih berat. Motor melaju lebih cepat dan sekali-kali dengan rem yang tajam saat jalan terjal.

Kami kemudian berhenti di area seperti lapangan yang terbuka dan lebih bersih. Ini katanya sudah masuk B29 meski tidak ada petunjuknya. Kami bertemu dengan pengunjung lain, dengan suasana lebih ramai oleh deru motor ojek. Pemandangan disini pun sama indahnya dengan B30, dimana tutupan awan nampak lebih tipis.

 Kami kemudian naik motor lagi menuju arah turun. Rute kemudian memasuki jalanan berpaving menuju tempat yang "tersentuh prasarana wisata". Nah inilah tempat Puncak B29 yang populer itu. Ada gapura, warung, pos, pagar dan bangunan lain untuk pengelolaan, kenyamanan dan keamanan wisata.

Puncak B29 (koleksi pribadi)
Puncak B29 (koleksi pribadi)
Puncak B29 (koleksi pribadi)
Puncak B29 (koleksi pribadi)
Puncak B29 (koleksi pribadi)
Puncak B29 (koleksi pribadi)
Pengunjung disini jumlahnya lebih banyak, ada sekitar 15 orang. Kami memanfaatkan gadget untuk mengabadikan lokasi dan keindahan puncak B29. Saat itu awan tebal menyelimuti udara, sehingga pemandangan nampak terbatas. Kami sedikit berpindah turun ke tempat B29 lainnya, namun kondisinya tetap sama. 

Sebaiknya pengunjung datang ke puncak B30 dan B29 di pagi hari karena awan belum terbentuk dan akan menemukan pemandangan yang indah. Di waktu fajar akan nampak matahari terbit yang eksotik dan indah di ufuk timur, dengan sinar kemerahan melukis langit. Begitu matahari sedikit naik, maka akan terlihat lansekap dan panorama kaldera Tengger beserta lautan pasir dan gunung-gunung kecil di sekitarnya.

Kami pun kembali naik motor ojek menuju jalan pulang. Ada rasa syukur dan takjub menemukan pengalaman sekaligus perjalanan ekstrim pada hari itu. Belum tentu kami akan mengulangi lagi.

Malang, 26 Nopember 2017

Penulis menulis buku:

  • Iwan Nugroho. 2011. Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 362p. ISBN 978-602-9033-31-1
  • Iwan Nugroho dan Rokhmin Dahuri. 2012. Pembangunan Wilayah: Perspektif ekonomi, sosial dan lingkungan. Cetakan Ulang. Diterbitkan kembali oleh LP3ES, Jakarta. ISBN 979-3330-90-2 
  • Iwan Nugroho dan Purnawan D Negara. 2015. Pengembangan Desa Melalui Ekowisata, diterbitkan oleh Era Adicitra Intermedia, Solo. 281 halaman. ISBN 978-602-1680-13-1 
  • Iwan Nugroho. 2016. Kepemimpinan: Perpaduan Iman, Ilmu dan Akhlak. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 362p. ISBN 9786022296386

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun