Reading is a basic tool in the living of a good life. Joseph Addison (1)
Dahulu saat saya masih kecil, di tahun tujuhpuluhan, orangtua membiasakan saya dan saudara untuk membaca. Membaca apa saja, apakah itu koran, majalah atau apa saja. Buku pelajaran lebih penting lagi karena terkait sekolah. Saat itu, di rumah sebenarnya tidak banyak bahan bacaan. Orangtua tidak mampu menyediakan bahan bacaan karena keterbatasan ekonomi. Namun ini tidak mengurangi hasrat kami, untuk membaca. Bacaan itu berasal dari perpustakaan sekolah atau umum, dari pinjam teman, atau beli bacaan bekas.
Saya masih ingat judul atau isi buku yang pernah saya baca, antara lain Mengelilingi Dunia Dalam 80 Hari; Batu Badaon; Pangeran Diponegoro, Kisah Pierre Curie dan Marie Curie menemukan radioaktif; Admunsen si penemu kutub Utara; perjalanan Marcopolo; pelayaran Bartholomeus Diaz mengelilingi Tanjung Harapan.
zaman itu memang tidak banyak ragam bacaan. Sumber bacaan adanya di perpustakaan, koran atau majalah. Penerbit yang paling banyak mengisi perpustakaan adalah Balai Pustaka. Buku-buku di perpustakaan adanya seperti yang saya baca itu, terutama sejarah, termasuk biografi tokoh, pemimpin negara, ilmuwan atau agamawan. Rasanya ada hal-hal heroik atau perjuangan yang membawa penghayatan bacaan itu.
Saya kebetulan punya tetangga yang punya koleksi buku tergolong banyak, termasuk dari luar negeri. Tetangga itu adalah seorang perwira polisi. Putranya adalah teman sepermainan. Ini kesempatan untuk berlama-lama di rumahnya agar bisa membaca buku-buku itu. Hasrat dan gelagat saya itu terbaca oleh pakdhe perwira itu. Saya takut bukan main. Tapi pakdhe perwira itu baik hati, kemudian mengijinkan saya untuk membaca di tempat, tidak boleh di bawa pulang. Di rumah pakdhe inilah saya membaca buku karangan Cindy Adam tentang kisah hidup bung Karno.
Saya merasakan banyak sekali manfaat dari membaca itu, hingga kini. Rasanya, pengalaman membaca ini ingin sekali ditularkan ke siapa saja, termasuk menularkan ketrampilan menulis. Saya tidak henti-hentinya mengajak anak-anak muda, khususnya mahasiswa atau siswa untuk banyak membaca. Memanfaatkan waktu dengan membaca, membaca dan membaca.
Kebiasaan membaca tidak sekedar menambah pengetahuan. Banyak manfaatnya dari kebiasaan membaca.
- Menguasai ruang lingkup. Membaca dapat membantu penguasaan ruang lingkup. Ini penting untuk membantu tugas-tugas manajemen, membantu analisis dan mengambil keputusan. Ini membuat seseorang fokus dalam bekerja, efisien dan mengarah kepada keberhasilan. Budaya baca orang-orang dalam organisasi, membuat organisasi akan maju. Sebaliknya, orang yang malas baca dengan mudah terlihat kelemahannya. Ia tidak segera nyambung dengan kebijakan organisasi, bahkan menjadi tertinggal.
- Terlatih bersabar. Membaca itu tidak enak, pikiran dipaksa fokus ke bahan bacaan, menyebabkan mudah bosan, atau bahkan terkantuk. Tapi buahnya manis, banyak membaca membuat terlatih mengendalikan diri. Orang terlatih menjadi sabar dan rendah hati. Membaca yang disertai adab belajar, yakni banyak diam, mendengar, tidak mudah bertanya; membuat hati dan pikiran sangat terkendali. Adab belajar ini banyak diberikan oleh guru-guru jaman dahulu, termasuk oleh orangtua saya. Para pembaca, yang berusia lima puluh tahun ke atas, mungkin memperoleh didikan perihal adab belajar itu.
- Menemukan sumber yang akurat. Membaca satu buku tidaklah cukup. Naluri kebiasaan membaca membawa seseorang untuk membaca buku-buku, bacaan dan sumber lainnya. Saat mahasiswa, saya bersyukur berada di lingkungan teman yang suka membaca. Kita saling menunjukkan buku-buku baru untuk dibaca. Kebiasaan ini membuat seseorang mampu melihat perbedaan atau kelebihan bacaan satu dibanding lainnya. Ini melatih seseorang tahu lebih dalam, komprehensif, dan arif memahami sesuatu. Ini juga melatih untuk berhati-hati menggunakan sumber bahan bacaan, senantiasa mengonfirmasi bacaan.
Ada sebuah pepatah “We become the books we read.” Makna bebasnya, kebiasaan membaca itu dapat mempengaruhi seseorang. Kalau yang dibaca itu negatif, membuat perilaku seseorang negatif pula; dan sebaliknya. Membaca buku tentang ilmu, memandu seseorang berilmu, membaca kitab suci mengajarkan orang tentang kesucian, membaca buku akhlak mengajarkan tentang berakhlak yang baik.
Kalau seseorang membaca satu buku, pikirannya hanya sebatas buku itu, cara pandangnya tidak luas. Pengetahuan yang dikuasai terbatas. Cara berpikirnya hanya ada dari satu buku saja. Akan lebih celaka, bila yang ada di buku itu dianggap satu-satunya kebenaran.
Sebaiknya seseorang membaca banyak buku, agar ia memiliki banyak pilihan pandangan. Pikirannya menjadi terbuka, tahu macam-macam tema, mengenali kronologi dan dapat memetakan sesuatu hal secara komprehensif. Ini menyebabkan ilmu pengetahuan tumbuh, berkembang, luas dan dalam, menghasilkan kearifan dan kesalehan seseorang. Kebiasaan membaca banyak kitab inilah menjadi inti kehidupan pesantren sejak dahulu. Bahkan santri diminta berguru ke pesantren lain untuk menguasai kitab lainnya.
Manfaat membaca dalam pengertian luas dapat memandu memahami fenomena alam dan sekitarnya. Ini dapat menghasilkan kearifan seseorang, yakni senantiasa mengendalikan diri, hati-hati dan rendah hati dalam bersikap dan berperilaku untuk membaca gejala perubahan.
Fenomena yang terjadi saat ini perlu menjadi renungan. Komunikasi negatif di media sosial sangat marak. Munculnya berita hoax, ungkapan bernada SARA, ajakan membenci, atau menyebar berita bohong; adalah akibat kurangnya pengendalian diri. Ini secara langsung atau tidak, adalah akibat dari kurangnya pengetahuan atau kurang membaca.
Ini yang pernah dikatakan mantan presiden Suharto, ”Ojo Kagetan, Ojo Gumunan, Ojo Dumeh”. Masyarakat saat ini mudah terkejut atau kagetan, karena seolah-olah baru mengetahui hal yang terjadi. Banyak orang bersikap heran atau nggumun, karena seperti melihat sesuatu yang aneh. Orang-orang bersikap sok berkuasa atau dumeh, karena seperti ada kesempatan atau aji mumpung.
Aksi-reaksi yang terjadi saat ini sudah pernah terjadi sebelumnya, tertulis dengan jelas dalam berbagai kitab. Saat ini, orang begitu mudah tersinggung, bersikap kasar, takut kurang dukungan, takut tidak populer; itu semua adalah atribut keduniaan, mementingkan ego semata. Macam-macam komunikasi negatif itu tidak sesuai dengan kitab-kitab perihal akhlak. Itu semua adalah perkara yang besar yang merendahkan martabat kemanusiaan, pernah terjadi pada jaman kebodohan.
Kalau saja mereka banyak membaca, memahami dengan jernih disertai pengendalian diri, tidak akan terjadi komunikasi negatif itu. Kalau masyarakat terbiasa membaca, pasti tidak sempat melakukan hal-hal yang tidak perlu. Mereka akan saling menghargai dan bekerja sama, sibuk menunjukkan kreativitas dan produktivitas. Banyak membaca membuat orang tawadu, berupaya menciptakan kesejukan dan kebahagiaan, menyejukkan dan membahagiakan, seperti masa-masa dulu; seperti negara-negara yang sudah maju.
“Jauhkanlah dirimu dari prasangka buruk, karena sesungguhnya prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta.” (HR. Bukhari)
Malang, 26 Januari 2016
Penulis buku:
- Iwan Nugroho. 2013. Budaya Akademik Dosen Profesional. Era Adicitra Intermedia, Solo. 169p. ISBN 978-979-8340-26-0
- Iwan Nugroho. 2016. Kepemimpinan: Perpaduan Iman, Ilmu dan Akhlak. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 362p. ISBN 9786022296386 (NEW)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H