Perpustakaan umum, seperti yang disoroti oleh dewan tersebut, dapat berfungsi sebagai pusat komunitas untuk mengajarkan literasi digital dan membantu melawan misinformasi yang dihasilkan oleh AI. Dengan menyediakan lokakarya dan alat-alat, perpustakaan dapat mendidik masyarakat untuk mengenali ketidakakuratan dan memverifikasi sumber informasi, memberdayakan warga untuk secara kritis mengevaluasi konten yang dihasilkan oleh AI. Pendekatan ini, meskipun bersifat akar rumput, mencerminkan kebutuhan yang lebih besar bagi masyarakat untuk membangun kapasitas menghadapi gelombang informasi---benar atau salah---yang mungkin diproduksi oleh AI.
Namun, apakah AI sendiri dapat mengatasi misinformasi? Beberapa pihak berpendapat bahwa sistem AI dapat dilatih untuk mendeteksi sumber yang tidak dapat dipercaya dan menandai informasi palsu, pada dasarnya menjadi pengawas era digital. Namun, kompleksitas dalam membedakan klaim benar dan salah menghadirkan tantangan, terutama di dunia di mana deepfake dan konten yang dihasilkan AI semakin mudah menipu. Untuk benar-benar berguna, AI perlu berevolusi untuk menyertakan fitur yang melacak kredibilitas sumbernya, mirip dengan cara makalah akademis mengutip penelitian yang ditinjau sejawat.
Dampak Lingkungan dan Sosial AI
Di tengah kekhawatiran etis ini, dampak lingkungan AI juga perlu diperhatikan. Melatih model AI dan memelihara pusat data besar memakan energi dan air dalam jumlah besar. Misalnya, sebuah studi dari Universitas California, Riverside, menunjukkan bahwa menghasilkan satu email 100 kata menggunakan GPT-4 menghabiskan sekitar 519 mililiter air dan 0,14 kilowatt jam listrik. Seiring dengan meningkatnya adopsi AI, biaya lingkungan kumulatif bisa menjadi signifikan, memunculkan pertanyaan tentang keberlanjutan di era AI.
Implikasi sosial AI sama kompleksnya. Dengan AI yang siap mengotomatiskan banyak tugas, ketakutan akan pergeseran pekerjaan tetap ada. Gates dan Altman sama-sama mengakui potensi gangguan yang mungkin dibawa oleh AI terhadap ekonomi, itulah sebabnya mereka, bersama dengan para pemimpin lainnya, mendesak adanya kerangka regulasi. Pemerintah dan perusahaan teknologi harus bekerja sama untuk memastikan pengembangan AI sejalan dengan kepentingan publik, menghindari kesalahan yang terjadi dalam regulasi teknologi sebelumnya, seperti media sosial.
Kesimpulan: Apakah AI Menjawab Kekhawatiran Ini?
Meskipun ada kekhawatiran ini, AI telah mulai berevolusi untuk menghadapi beberapa tantangan yang muncul. Perbaikan dalam transparansi, kerangka hukum, dan pengujian keselamatan sedang berlangsung, karena para pemangku kepentingan dari industri dan pemerintah bekerja untuk mengurangi risiko. Namun, AI masih berjuang dengan masalah mendasar, seperti memberikan atribusi sumber dengan andal dan menghindari penyalahgunaan dalam bentuk misinformasi.
Seperti yang dikatakan Bill Gates, AI adalah teknologi pertama yang berkembang lebih cepat dari yang diharapkan. Percakapan tentang AI sekarang harus bergeser dari sekadar kemampuannya ke penerapannya yang bertanggung jawab. Saat pemerintah dan perusahaan seperti OpenAI bekerja untuk menetapkan regulasi dan pedoman etika, teknologi ini juga harus memperhitungkan biaya sosial, hukum, dan lingkungan yang ditimbulkannya. Keseimbangan antara inovasi dan tanggung jawab ini akan menentukan babak berikutnya dalam perkembangan AI---dan apakah teknologi ini benar-benar akan meningkatkan peradaban atau justru memperparah perpecahan yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H