AI: Perkembangan Cepat dan Kekhawatiran yang Muncul
EvolusiPerkembangan kecerdasan buatan (AI), terutama model generatif seperti seri GPT dari OpenAI, berlangsung jauh lebih cepat dari yang diantisipasi oleh para ahli seperti Bill Gates dan Sam Altman. Kecepatan ini membawa janji sekaligus kekhawatiran, saat sistem AI semakin mampu menangani tugas-tugas yang sebelumnya dianggap hanya bisa dilakukan oleh manusia. Bill Gates, yang telah menyaksikan berbagai revolusi teknologi, menyebut AI sebagai "kemajuan teknis terbesar" dalam hidupnya, yang menegaskan dampak besar yang akan dibawa AI terhadap masyarakat dan ekonomi. Namun, seiring dengan peningkatan kemampuan AI, pertanyaan kritis mengenai pemrosesan informasi, penggunaan yang etis, dan kesiapan masyarakat semakin mencuat.
Kecepatan Perkembangan dan Kesenjangan Antisipasi
Bill Gates menyoroti dalam percakapannya dengan Oprah Winfrey bahwa AI berkembang dengan laju yang lebih cepat dari yang diperkirakan oleh para pengembang. Gates mencatat bahwa AI mungkin segera menjadi "pendamping ketiga" di ruang konsultasi medis, memberikan saran dan ringkasan real-time saat konsultasi berlangsung. AI juga bisa merevolusi pendidikan dengan menyediakan tutor pribadi yang selalu siap diakses oleh setiap siswa.
Namun, perkembangan cepat ini diikuti oleh kekhawatiran besar. Gates, bersama pemimpin industri lain seperti mantan CEO Google Eric Schmidt, mengungkapkan ketakutan bahwa masyarakat mungkin akan kesulitan beradaptasi dengan kemampuan AI. Schmidt bahkan mengatakan bahwa "orang-orang tidak akan mampu beradaptasi" dengan dunia yang diubah oleh AI, menyoroti kesenjangan antara inovasi teknologi dan kemampuan manusia serta pemerintah dalam memahami, mengatur, dan mengelola sistem ini secara etis. Kecepatan perkembangan AI memicu pertanyaan: apakah kerangka peraturan dapat berkembang secepat teknologi ini, atau pemerintah akan tetap reaktif, seperti yang terjadi dengan media sosial dan teknologi disruptif lainnya?
Tantangan Etika dan Legal dalam Pengembangan AI
Salah satu tantangan terbesar terletak pada cara AI mencerna, memproses, dan menggunakan informasi---terutama karya kreatif dan kekayaan intelektual. Contoh kasus yang mencolok adalah gugatan terhadap OpenAI oleh The New York Times, yang menuduh perusahaan tersebut menggunakan konten mereka tanpa izin atau kompensasi yang layak. Hal ini menunjukkan perlunya transparansi seputar data yang digunakan untuk melatih model generatif AI. Para pengacara menyebut kasus ini sebagai "ujian besar pertama bagi AI dalam ranah hak cipta."
Opasitas data yang digunakan oleh AI saat ini memunculkan kekhawatiran etis tentang kepemilikan karya intelektual dan akuntabilitas. AI generatif, seperti ChatGPT, belum mampu secara transparan memberikan atribusi kepada sumber informasi dengan cara yang mirip dengan standar akademik. Menerapkan atribusi yang dapat dilacak dan diakui dapat meredakan beberapa sengketa hukum, menjadikan sistem AI lebih etis dan andal. Ini bisa menyerupai cara karya ilmiah tradisional mengutip penelitian yang sudah ditinjau sejawat, memastikan bahwa keluaran AI menghormati undang-undang hak cipta dan memberikan kredit yang sesuai.
Walaupun Sam Altman dari OpenAI menyadari perlunya pengujian keselamatan dan kolaborasi regulasi, jelas bahwa masih banyak yang perlu dilakukan sebelum para pembuat AI dapat benar-benar menjawab masalah etika, hukum, dan kekayaan intelektual. Altman sendiri membandingkan regulasi AI dengan pesawat atau obat-obatan, menunjukkan bahwa protokol keamanan dan pengujian ketat harus dilakukan sebelum teknologi ini diluncurkan sepenuhnya, memastikan bahwa teknologi tidak melebihi pengaman yang dirancang untuk melindungi masyarakat dari penyalahgunaan.
AI dan Misinformasi: Menangani Risiko
Masalah signifikan lainnya adalah potensi AI memperburuk penyebaran misinformasi. Model Bahasa Besar (LLM) seperti GPT-4 dapat menghasilkan konten yang realistis namun salah, yang menghadirkan tantangan bagi pemerintah, pendidik, dan masyarakat. Seperti yang ditunjukkan oleh Dewan Perpustakaan Perkotaan, misinformasi dan disinformasi berkembang di masyarakat yang terpolarisasi atau dalam komunitas dengan tingkat konektivitas sosial yang rendah, sehingga sulit membedakan antara kebenaran dan kebohongan.
Perpustakaan umum, seperti yang disoroti oleh dewan tersebut, dapat berfungsi sebagai pusat komunitas untuk mengajarkan literasi digital dan membantu melawan misinformasi yang dihasilkan oleh AI. Dengan menyediakan lokakarya dan alat-alat, perpustakaan dapat mendidik masyarakat untuk mengenali ketidakakuratan dan memverifikasi sumber informasi, memberdayakan warga untuk secara kritis mengevaluasi konten yang dihasilkan oleh AI. Pendekatan ini, meskipun bersifat akar rumput, mencerminkan kebutuhan yang lebih besar bagi masyarakat untuk membangun kapasitas menghadapi gelombang informasi---benar atau salah---yang mungkin diproduksi oleh AI.
Namun, apakah AI sendiri dapat mengatasi misinformasi? Beberapa pihak berpendapat bahwa sistem AI dapat dilatih untuk mendeteksi sumber yang tidak dapat dipercaya dan menandai informasi palsu, pada dasarnya menjadi pengawas era digital. Namun, kompleksitas dalam membedakan klaim benar dan salah menghadirkan tantangan, terutama di dunia di mana deepfake dan konten yang dihasilkan AI semakin mudah menipu. Untuk benar-benar berguna, AI perlu berevolusi untuk menyertakan fitur yang melacak kredibilitas sumbernya, mirip dengan cara makalah akademis mengutip penelitian yang ditinjau sejawat.
Dampak Lingkungan dan Sosial AI
Di tengah kekhawatiran etis ini, dampak lingkungan AI juga perlu diperhatikan. Melatih model AI dan memelihara pusat data besar memakan energi dan air dalam jumlah besar. Misalnya, sebuah studi dari Universitas California, Riverside, menunjukkan bahwa menghasilkan satu email 100 kata menggunakan GPT-4 menghabiskan sekitar 519 mililiter air dan 0,14 kilowatt jam listrik. Seiring dengan meningkatnya adopsi AI, biaya lingkungan kumulatif bisa menjadi signifikan, memunculkan pertanyaan tentang keberlanjutan di era AI.
Implikasi sosial AI sama kompleksnya. Dengan AI yang siap mengotomatiskan banyak tugas, ketakutan akan pergeseran pekerjaan tetap ada. Gates dan Altman sama-sama mengakui potensi gangguan yang mungkin dibawa oleh AI terhadap ekonomi, itulah sebabnya mereka, bersama dengan para pemimpin lainnya, mendesak adanya kerangka regulasi. Pemerintah dan perusahaan teknologi harus bekerja sama untuk memastikan pengembangan AI sejalan dengan kepentingan publik, menghindari kesalahan yang terjadi dalam regulasi teknologi sebelumnya, seperti media sosial.
Kesimpulan: Apakah AI Menjawab Kekhawatiran Ini?
Meskipun ada kekhawatiran ini, AI telah mulai berevolusi untuk menghadapi beberapa tantangan yang muncul. Perbaikan dalam transparansi, kerangka hukum, dan pengujian keselamatan sedang berlangsung, karena para pemangku kepentingan dari industri dan pemerintah bekerja untuk mengurangi risiko. Namun, AI masih berjuang dengan masalah mendasar, seperti memberikan atribusi sumber dengan andal dan menghindari penyalahgunaan dalam bentuk misinformasi.
Seperti yang dikatakan Bill Gates, AI adalah teknologi pertama yang berkembang lebih cepat dari yang diharapkan. Percakapan tentang AI sekarang harus bergeser dari sekadar kemampuannya ke penerapannya yang bertanggung jawab. Saat pemerintah dan perusahaan seperti OpenAI bekerja untuk menetapkan regulasi dan pedoman etika, teknologi ini juga harus memperhitungkan biaya sosial, hukum, dan lingkungan yang ditimbulkannya. Keseimbangan antara inovasi dan tanggung jawab ini akan menentukan babak berikutnya dalam perkembangan AI---dan apakah teknologi ini benar-benar akan meningkatkan peradaban atau justru memperparah perpecahan yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H