Selain sea drones, Filipina juga memasang rudal presisi jarak jauh yang bisa ditembakkan dari platform darat, seperti pangkalan di pulau-pulau terluar yang dekat dengan perbatasan Laut China Selatan. Rudal-rudal ini diintegrasikan dengan sistem pemantauan berbasis satelit dan intelijen AI, yang memungkinkan Filipina untuk menyerang kapal musuh dari jarak aman.
Aksi Tegas Filipina dan Reaksi Global:
Dengan teknologi baru ini, Filipina secara dramatis memperkuat pertahanannya. Ketika kapal perang Rusia dan China mencoba memasuki zona ekonomi eksklusif Filipina, sea drone dan rudal mereka berhasil menghancurkan beberapa kapal penyerang. Tindakan ini mengirimkan pesan kuat kepada China bahwa Filipina tidak lagi akan bertoleransi terhadap agresi, sekaligus memaksa Rusia untuk menarik kapalnya dari wilayah konflik.
Pengaruh Kekuatan Deterrent:
Dengan berhasil melumpuhkan beberapa kapal penyerang, Filipina kini memiliki kekuatan deterrent yang kuat. Dalam jangka panjang, ini tidak hanya mengurangi ancaman langsung, tetapi juga memaksa China untuk mempertimbangkan ulang strategi agresifnya di Laut China Selatan. Ketika Filipina memperlihatkan kemampuannya untuk melawan dengan teknologi canggih, China terpaksa memperlambat agresinya atau menghadapi kerugian signifikan.
Selain itu, kehadiran AS melalui perjanjian pertahanan bersama semakin memperkuat posisi Filipina. Dengan teknologi rudal mid-range yang mampu mencapai daratan China, AS menunjukkan bahwa mereka siap membantu Filipina mempertahankan wilayahnya, sekaligus memberikan ancaman nyata bagi Beijing.
Implikasi:
Jika strategi ini berhasil, Filipina akan membuktikan bahwa negara dengan angkatan laut tradisional sekalipun bisa menjadi kekuatan besar di kawasan jika mengadopsi teknologi futuristik. Selain itu, kesuksesan ini dapat memberikan contoh bagi negara-negara kecil lainnya dalam menghadapi negara adidaya melalui inovasi teknologi, bukan hanya kekuatan militer konvensional.
Kerentanan Pertahanan Indonesia yang Serba Ketinggalan Jaman:
Situasi pertahanan maritim Indonesia sudah mencapai titik kritis, di mana pendekatan tradisional yang mengandalkan jumlah personil besar dan senjata konvensional perlu segera ditinggalkan. Dunia modern menyaksikan pergeseran drastis dalam teknologi militer, terutama dalam konteks perang asimetris yang melibatkan negara-negara seperti Rusia dan Ukraina. Penggunaan drone, sistem anti-drone, teknologi jammers, dan kemampuan siber telah mengubah wajah peperangan, dan negara yang bertahan dengan strategi lama akan tertinggal jauh dalam menghadapi ancaman modern.
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan perairan yang luas, sangat rentan terhadap ancaman keamanan maritim, baik dari aktor negara maupun non-negara. Ketergantungan pada jumlah personil yang banyak dan senjata tradisional seperti kapal perang besar dan rudal kuno tidak lagi relevan di era perang berbasis teknologi. Selain memakan biaya yang sangat tinggi, model ini juga membuat banyak prajurit menjadi korban, terutama dalam menghadapi serangan yang melibatkan teknologi canggih seperti hacking, serangan siber, dan drone.