Di sinilah peran pemimpin oposisi yang harus maju melindungi, dan buktikan pada sebagian rakyat bahwa PDIP adalah rumah keadilan, benteng keadilan terakhir untuk semua. Ini harus ditunjukkan untuk memberi sinyal kemana rakyat harus pergi mengarah. Tanpa sinyal bukti tanda arah kemana rakyat harus menuju maka PDIP telah mencopot rambu arah demokrasi kepada PDIP, padahal ini adalah kesempatan emas yang dicari oleh rakyat, kemana harus pergi mencoblos, kalau PDIP tidak mau memasang rambu arah demokrasi?Â
Yang sudah sudah tentang rambu menuju gerbong Jokowi ternyata mencederai PDIP, bukan berarti harus phobi membuat rambu yang baru. Apakah Pramono adalah rambu yang baru? Ternyata semua orang sudah tahu Pramono adalah yang itu itu juga dan rakyat tidak membutuhkan rambu Pramono yang semua sudah hafal jalannya. Disamping elektoral baru tidak memandang Pramono sebagai perubahan dari PDIP yang menurun elektoralnya.
Jawaban pada rasa ketakutan phobia pada fenomena Jokowi jilid 2 dari Anies yang selalu membelot menurut kemauannya sendiri, apalagi dia bukan kader PDIP adalah sederhana. Sesederhana kita membangun demokrasi yang serba dipenuhi kontrol, media dan segala sesuatunya yang berbau power check and balance of power. Sistem demokrasi check and balances yang kuat dipastikan akan selalu menjunjung keadilan atau demokrasi berkualitas, ketimbang hanya mengandalkan kuantitas jumlah kekuasaan multi partai yang jelas terbukti memabukkan, mentoleransi kekuasaan yang merusak dan mengangkangi demokrasi dengan korupsi, yang sejauh ini tanpa bisa dicegah atau dikendalikan lagi. Untungnya banyak aktivis dibelakang layar yang terus mendidik mahasiswa untuk mampu melihat kekuasaan absolut dan semuanya dengan sukarela berani meneriakkan demokrasi walaupun harus menghadapi ancaman aparat.
Bagaimana perangkat kontrol aktif yang memonitor jalannya demokrasi yang fungsinya jelas membatasi kekuasaan supaya adil terhadap diri sendiri dan oposisi, sehingga bisa saling mengkritik secara sehat demi membangun suatu kekuasaan untuk kesejahteraan setiap rakyat? Sudah dibuatkan segala macam pemikirannya oleh aktivis dan pembuat aturan hukum dari era reformasi yang mengingatkan korupsi atau KKN telah merontokkan negara dan perekonomiannya yang berujung pada krisis moneter serius.Â
Tetapi kekuatan anti demokrasi terus berusaha memotong ide dan hasil aturan hukum reformasi tentang bahaya KKN, bahkan membiasakan diri untuk KKN, supaya semua rakyat menjadi bebal akan KKN. Semuanya ini tidak mampu dicegah oleh PDIP yang turut secara pasif dalam kabinet multipartai, seperti parlementer saja layaknya. Setiap kritik dicoba dilawan oleh aturan, hukum, aparat dan buzzer yang menyerang siapapun pengkritiknya. Bahkan PDIP membiarkan bola liar ini dengan tidak menerima kritik sebagai kanal demokrasi.Â
Kekuasaan bentukan ramai ramai multi partai mulai menggurita yang didalamnya ada termasuk PDIP. Walaupun kekuasaan anak emas sepertinya memberikan nikmat, mestinya tetap harus setia pada asas demokrasi dan teguh membela perjuangan rakyat dan suara rakyat yang kritis, Â tetapi candu kekuasaan melupakan struktur PDIP di dalam eksekutif dan kabinet hanyalah minoritas, kalau dikeroyok lainnya. Maka patut dipertanyakan mengapa tidak menyadari keminoritasannya dalam kabinet Jokowi? Juga mengapa mendukung semua figur kuat partai lain dalam usahanya untuk meminggirkan PDIP?Â
Bukannya harus mawas kekuasaan dalam kabinet yang selalu dipinggirkan terus? Lebih mengherankan PDIP tidak pernah berusaha memancing atau mengukur apakah masih punya daya kontrol aktif pada Kekuasaan bentukan multi partai? Kalau Megawati sebagai ketua PDIP pernah dilawan Jokowi dan apalagi sang anak emas ini mengajak semuanya untuk meminggirkan PDIP..
Kesimpulannya, PDIP menghadapi dilema strategis dalam menentukan arah politiknya, terutama dalam menghadapi fenomena figur-figur kuat seperti Anies Baswedan. Penolakan Anies untuk bergabung dengan PDIP menunjukkan tantangan partai ini dalam merangkul tokoh-tokoh independen yang memiliki basis dukungan luas, sementara keputusan untuk mengusung kader internal seperti Pramono Anung juga menimbulkan risiko memicu ketidakpuasan di kalangan pendukung Anies. PDIP perlu menavigasi kompleksitas ini dengan cermat, memastikan bahwa strategi politik mereka tidak hanya mempertahankan, tetapi juga memperluas dukungan publik, sekaligus tetap teguh pada prinsip-prinsip perjuangan yang sesuai dengan ideologi partai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H