Mohon tunggu...
Iwan Murtiono
Iwan Murtiono Mohon Tunggu... Lainnya - Google-YouTube project contractor

Pembela hak asasi dan demokrasi dengan bias sebagai orang Indonesia dalam memakai kacamata untuk melihat dunia, termasuk dalam memupuk demokrasi yang agak membingungkan antara demokrasi murni atau demokrasi a la Indonesia. Bahwa kita sering melihatnya dalam perspektif yang berbeda, karena demokrasi itu juga adalah sebuah karya kreatif dalam pembentukannya yang tidak pernah rampung, termasuk yang anti demokrasi juga tidak pernah lelah berusaha terus menguasai demi kepentingan sebagian kecil atau oligarki

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Analisa Demokrasi dan Elektoral Vote PDIP

29 Agustus 2024   01:15 Diperbarui: 29 Agustus 2024   03:17 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
idntimes.com/Pramono Anung & Isteri

Jika PDIP memilih menjagokan Pramono Anung sebagai calon gubernur DKI, kemungkinan besar akan ada reaksi beragam dari pendukung Anies Baswedan dan basis pendukungnya. Mereka mungkin merasa terasing atau kecewa karena PDIP lebih memilih kader internal yang sudah mapan daripada Anies, yang dikenal memiliki basis dukungan luas di Jakarta.

Namun, apakah pendukung Anies akan menolak Pramono secara otomatis? Itu tergantung pada bagaimana strategi komunikasi PDIP dan Pramono Anung dalam mengatasi potensi ketidakpuasan ini. Jika Pramono bisa meyakinkan publik bahwa dia adalah pilihan terbaik untuk melanjutkan pembangunan dan reformasi di DKI Jakarta, beberapa pendukung Anies mungkin masih bisa diajak beralih. 

Sebaliknya, jika pendekatan PDIP terkesan eksklusif atau kurang inklusif, hal ini bisa memperkuat kesan bahwa Anies dan pendukungnya terpinggirkan, yang dapat meningkatkan resistensi terhadap Pramono. 

Anies Baswedan kemungkinan menolak menjadi anggota PDIP karena beberapa pertimbangan strategis, salah satunya adalah kekhawatiran kehilangan simpatisan. Anies memiliki basis pendukung yang beragam, termasuk diantaranya mereka yang mungkin memiliki pandangan politik yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan ideologi PDIP. Bergabung dengan PDIP bisa dianggap sebagai pengkhianatan terhadap nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang selama ini ia perjuangkan, sehingga berpotensi mengalienasi sebagian besar pendukungnya yang mungkin tidak menyukai afiliasi dengan partai tersebut.

Selain itu, Anies juga mungkin mempertimbangkan bahwa bergabung dengan PDIP bisa merusak citranya sebagai tokoh independen yang tidak terikat pada kepentingan partai politik tertentu, sesuatu yang telah menjadi salah satu kekuatannya dalam meraih dukungan publik. Dengan tetap berada di luar PDIP, Anies bisa mempertahankan fleksibilitas politik dan kebebasan untuk membentuk aliansi strategis tanpa dibatasi oleh kepentingan partai yang terlalu mengikat.

Penolakan Anies untuk mendaftar menjadi anggota PDIP tampaknya bertentangan dengan karakter utamanya yang oportunis, selalu berusaha berada di depan, dan sering kali mencuri start. Keputusan ini sangat disayangkan karena Anies justru kehilangan kesempatan emas untuk berjuang melawan Jokowi. Ini adalah satu satunya kesempatan yang bisa didapatkan jika ia bersedia menjadi kader PDIP. Dengan menolak kesempatan ini, Anies tidak hanya kehilangan momentum politiknya tetapi juga melewatkan peluang untuk membangun koalisi kuat dengan PDIP dalam upaya bersama melawan kekuatan oligarki yang semakin mendominasi.

 Di sisi lain, PDIP yang tidak menunjukkan ketegasan dalam memanfaatkan potensi Anies sebagai sekutu strategis menunjukkan bahwa partai ini mungkin telah kehilangan fokus dalam mempertahankan esensi perjuangannya sesuai dengan ideologi dan nama besar partai. Selain itu, kurangnya tindakan tegas dari PDIP dalam menghadapi ancaman internal ini bisa mencerminkan bahwa partai tersebut mulai kehilangan semangat dalam memberikan efek jera terhadap pihak-pihak yang merusak dari dalam.

Megawati mengatakan tentang kemungkinan mengusung Anies yang mengkhawatirkan tentang kemungkinan terjadi berulangnya kasus Jokowi membelot dari jerih payah semua anggota partai PDIP yang all out selama mendidiknya dan membuatnya mungkin menjadi Gubernur dan Presiden, bahkan sampai hari hari terakhirnya masih menggelorakan anak emas satu satunya dan menyatakan pembelaan penuh pada Jokowi. 

Rupanya PDIP lupa bahwa ini adalah dunia politik dengan slogan utama Power tend to corrupt. Corrupting mind players atau racun pemikiran di sekitar anak emas yang dikelilingi oleh semua ketua partai yang juga menggunakan politik tipu muslihat dan segala macam kemungkinan penawaran yang menggiurkan seperti pembangunan dinasti melalui PDIP yang sibuk membela dan terlena, dan tahu tahu sadar dan sudah terlambat karena sekarang diambang jurang penurunan elektoral. 

Jurang kemerosotan elektoral PDIP apakah mudah untuk diputar balik? Melihat semua partai sudah mulai mengeroyok dipimpin sang anak emas yang tidak pernah berhenti merangsek dan memojokkan karena marah dan sedang dendam kesumat, karena keinginannya tidak dituruti terus. Belum intimidasi dari perangkat hukum dan aparat yang berusaha diorkestrasikan mulai dari semua partai, aparat dan hukum dan undang undang untuk semakin menurunkan dan membatasi elektoral dan ruang gerak PDIP. Sementara dari Kim plus hanya memiliki Cagub Ridwan Kamil dengan popularitas 14% menurut hasil survei terbaru dan Anis dengan popularitas yang jauh lebih tinggi ataupun Ahok yang nomor 2 setelah Anis, di atas kertas berarti ini adalah kemenangan yang jauh lebih mudah dari pilihan Ahok atau Anis untuk melawan Ridwan. Tetapi seperti biasa PDIP tidak pernah memilih jalan mudah dengan resikonya seperti saat ini.

Sebetulnya banyak tawaran gila yang out of the box seperti permintaan masyarakat akan kepemimpinan PDIP dan Megawati dalam melawan Oligarki, melawan semua partai cacat hukum atau tersandera kasus korupsi, melawan aparat yang juga cacat hukum dan korupsi, melawan perangkat hukum dan undang undang pro KKN. Salah satu korbannya dari sistem yang anti serba membatasi adalah Anies. Walaupun Anies susah ditebak apa maunya, dan biasanya selalu menuruti kemauannya sendiri, tetapi Anies sedang dipersekusi atau dipinggirkan dan dibatasi atau diamputasi kepemimpinannya. 

Di sinilah peran pemimpin oposisi yang harus maju melindungi, dan buktikan pada sebagian rakyat bahwa PDIP adalah rumah keadilan, benteng keadilan terakhir untuk semua. Ini harus ditunjukkan untuk memberi sinyal kemana rakyat harus pergi mengarah. Tanpa sinyal bukti tanda arah kemana rakyat harus menuju maka PDIP telah mencopot rambu arah demokrasi kepada PDIP, padahal ini adalah kesempatan emas yang dicari oleh rakyat, kemana harus pergi mencoblos, kalau PDIP tidak mau memasang rambu arah demokrasi? 

Yang sudah sudah tentang rambu menuju gerbong Jokowi ternyata mencederai PDIP, bukan berarti harus phobi membuat rambu yang baru. Apakah Pramono adalah rambu yang baru? Ternyata semua orang sudah tahu Pramono adalah yang itu itu juga dan rakyat tidak membutuhkan rambu Pramono yang semua sudah hafal jalannya. Disamping elektoral baru tidak memandang Pramono sebagai perubahan dari PDIP yang menurun elektoralnya.

Jawaban pada rasa ketakutan phobia pada fenomena Jokowi jilid 2 dari Anies yang selalu membelot menurut kemauannya sendiri, apalagi dia bukan kader PDIP adalah sederhana. Sesederhana kita membangun demokrasi yang serba dipenuhi kontrol, media dan segala sesuatunya yang berbau power check and balance of power. Sistem demokrasi check and balances yang kuat dipastikan akan selalu menjunjung keadilan atau demokrasi berkualitas, ketimbang hanya mengandalkan kuantitas jumlah kekuasaan multi partai yang jelas terbukti memabukkan, mentoleransi kekuasaan yang merusak dan mengangkangi demokrasi dengan korupsi, yang sejauh ini tanpa bisa dicegah atau dikendalikan lagi. Untungnya banyak aktivis dibelakang layar yang terus mendidik mahasiswa untuk mampu melihat kekuasaan absolut dan semuanya dengan sukarela berani meneriakkan demokrasi walaupun harus menghadapi ancaman aparat.

Bagaimana perangkat kontrol aktif yang memonitor jalannya demokrasi yang fungsinya jelas membatasi kekuasaan supaya adil terhadap diri sendiri dan oposisi, sehingga bisa saling mengkritik secara sehat demi membangun suatu kekuasaan untuk kesejahteraan setiap rakyat? Sudah dibuatkan segala macam pemikirannya oleh aktivis dan pembuat aturan hukum dari era reformasi yang mengingatkan korupsi atau KKN telah merontokkan negara dan perekonomiannya yang berujung pada krisis moneter serius. 

Tetapi kekuatan anti demokrasi terus berusaha memotong ide dan hasil aturan hukum reformasi tentang bahaya KKN, bahkan membiasakan diri untuk KKN, supaya semua rakyat menjadi bebal akan KKN. Semuanya ini tidak mampu dicegah oleh PDIP yang turut secara pasif dalam kabinet multipartai, seperti parlementer saja layaknya. Setiap kritik dicoba dilawan oleh aturan, hukum, aparat dan buzzer yang menyerang siapapun pengkritiknya. Bahkan PDIP membiarkan bola liar ini dengan tidak menerima kritik sebagai kanal demokrasi. 

Kekuasaan bentukan ramai ramai multi partai mulai menggurita yang didalamnya ada termasuk PDIP. Walaupun kekuasaan anak emas sepertinya memberikan nikmat, mestinya tetap harus setia pada asas demokrasi dan teguh membela perjuangan rakyat dan suara rakyat yang kritis,  tetapi candu kekuasaan melupakan struktur PDIP di dalam eksekutif dan kabinet hanyalah minoritas, kalau dikeroyok lainnya. Maka patut dipertanyakan mengapa tidak menyadari keminoritasannya dalam kabinet Jokowi? Juga mengapa mendukung semua figur kuat partai lain dalam usahanya untuk meminggirkan PDIP? 

Bukannya harus mawas kekuasaan dalam kabinet yang selalu dipinggirkan terus? Lebih mengherankan PDIP tidak pernah berusaha memancing atau mengukur apakah masih punya daya kontrol aktif pada Kekuasaan bentukan multi partai? Kalau Megawati sebagai ketua PDIP pernah dilawan Jokowi dan apalagi sang anak emas ini mengajak semuanya untuk meminggirkan PDIP..

Kesimpulannya, PDIP menghadapi dilema strategis dalam menentukan arah politiknya, terutama dalam menghadapi fenomena figur-figur kuat seperti Anies Baswedan. Penolakan Anies untuk bergabung dengan PDIP menunjukkan tantangan partai ini dalam merangkul tokoh-tokoh independen yang memiliki basis dukungan luas, sementara keputusan untuk mengusung kader internal seperti Pramono Anung juga menimbulkan risiko memicu ketidakpuasan di kalangan pendukung Anies. PDIP perlu menavigasi kompleksitas ini dengan cermat, memastikan bahwa strategi politik mereka tidak hanya mempertahankan, tetapi juga memperluas dukungan publik, sekaligus tetap teguh pada prinsip-prinsip perjuangan yang sesuai dengan ideologi partai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun