Mohon tunggu...
Iwan Murtiono
Iwan Murtiono Mohon Tunggu... Lainnya - Google-YouTube project contractor

Pembela hak asasi dan demokrasi dengan bias sebagai orang Indonesia dalam memakai kacamata untuk melihat dunia, termasuk dalam memupuk demokrasi yang agak membingungkan antara demokrasi murni atau demokrasi a la Indonesia. Bahwa kita sering melihatnya dalam perspektif yang berbeda, karena demokrasi itu juga adalah sebuah karya kreatif dalam pembentukannya yang tidak pernah rampung, termasuk yang anti demokrasi juga tidak pernah lelah berusaha terus menguasai demi kepentingan sebagian kecil atau oligarki

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Numbness: Terbiasa dengan Kerusakan Demokrasi

25 Agustus 2024   06:13 Diperbarui: 25 Agustus 2024   20:23 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa rakyat Indonesia beserta semua partai politiknya terbiasa dengan intensitas perusakan dan penguasaan demokrasi oleh Pak Lurah?. Belum lagi semua partai politik mulai menikmati permainan baru dalam ikut aktif merusak dan menguasai demokrasi. Memang kekuasaan model Machiavelli menghalalkan segala cara demi menguasai termasuk merusak demokrasi. 

Tanda dan bukti yang menunjukkan adanya anggapan bahwa pemerintahan Pak Lurah dibantu secara aktif oleh semua partai politik dalam usaha mengikis prinsip-prinsip demokrasi di Indonesia. Semuanya terlibat atau terbelit dalam jaring laba laba yang tidak mudah untuk diurai karena masing masing punya peran aktif merusak demokrasi demi untuk mengangkangi bangsa, negara, dan sumber perekonomian partai atau petingginya dalam bentuk saling mengkorupsi uang dan jabatan.

Analisis di atas menunjukkan kekhawatiran mendalam tentang bagaimana demokrasi di Indonesia, di bawah pemerintahan Pak Lurah, telah mengalami perusakan dan penguasaan yang sistematis dengan partisipasi aktif dari semua partai politik. Ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan mengapa kondisi ini terjadi dan mengapa rakyat serta partai-partai politik tampak terbiasa atau bahkan ikut serta dalam dinamika tersebut.

Pemerintahan Pak Lurah telah berulang kali menerapkan pendekatan keras dan otoritarian dalam menghadapi oposisi. Contoh yang paling mencolok adalah penggunaan aparat keamanan untuk mengintimidasi dan menangkapi lawan politik, yang tampak jelas dalam berbagai momen politik penting seperti kampanye pemilu, yang menyebabkan beberapa korban berjatuhan 

Selain itu,  kasus bantuan sosial (Bansos) juga mencuat, seyogyanya dana digunakan untuk program mengatasi tingkat kemiskinan, malah digunakan untuk mencurangi atau mengakali, yang seolah olah Bansos sebagai program memerangi kemiskinan, tetapi kenyataannya untuk memenangkan pemilu. Penerima Bansos akan menerima sang penyelamat atau 'Ratu Adil' dan suka cita mencoblos rekomendasi atau afiliasi sang Ratu Adil. 

Dan dalam Pilkada Jakarta, misalnya, pemerintah secara terang-terangan dengan sekuat tenaga hanya mengusahakan Ridwan Kamil sebagai calon gubernur tunggal dan menyingkirkan atau menghalangi calon lain, dan membuat Ridwan hanya melawan kotak kosong. Caranya dengan  mengakali hukum atau menandingi putusan MK nomor 60 dan 70, dengan undang undang tandingan yang sedang dibuat DPR secara cepat. 

Undang undang tandingan ini secara sistematis akan menghalangi Anies Baswedan dan calon-calon lain. Mengapa phobia dengan calon lain, karena menurut sejarahnya, calon lain akan berpotensi mengganggu perintah kekuasaan absolut Pak Lurah. Seperti beberapa kali kemandirian Anies yang tidak berusaha menuruti Pak Lurah. 

Implementasi rencana juga didukung oleh berbagai regulasi dan strategi dari penguasa tunggal yang sengaja dirancang untuk membatasi kebebasan berekspresi dan menerapkan sanksi hukum yang keras terhadap para pemimpin partai, supaya tidak bisa bebas berekspresi karena sudah diperangkap atau diintimidasi dengan sprindik, kalau tidak menurut garis koalisi atau menuruti kemauan Pak Lurah.

Pada awal pemerintahannya, tindakan-tindakan keras dan otoritarian Pak Lurah sering kali dibungkus dengan citra populisme yang manipulatif. Rakyat Indonesia, yang terpesona oleh figur sederhana yang digambarkan sebagai "pemimpin dari rakyat," lebih terfokus pada citra Pak Lurah sebagai sosok yang sederhana dan rendah hati yang keluar masuk gorong-gorong dengan mimik wajah polos yang sering kali menampilkan ketidaktahuan, daripada menyadari adanya intimidasi politik yang sedang terjadi. 

Misalnya, ketika ditanya tentang isu-isu kontroversial, Pak Lurah sering memberikan jawaban yang tampak membingungkan atau terlalu sederhana, mengklaim bahwa ia tidak tahu-menahu tentang masalah tersebut. Ini adalah strategi yang efektif untuk meredam kritik dan mengalihkan perhatian dari isu-isu yang sebenarnya mengancam demokrasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun