Salah satu contoh paling menonjol dari manipulasi citra ini adalah bagaimana Pak Lurah meyakinkan publik bahwa anak dan menantunya hanya akan menjalani kehidupan sederhana, seperti berjualan pisang dan martabak, serta tidak akan meminta jabatan politik dari ayah mereka.Â
Namun, kenyataannya sangat berbeda. Anak dan menantu Pak Lurah, serta orang-orang kepercayaannya, didorong menjadi figur politik yang menguasai masa didaerah, didukung penuh oleh jaringan oligarki. Mereka diangkat menjadi walikota, gubernur, dan bahkan calon wakil presiden melalui rekayasa politik yang cermat. Ini jelas menunjukkan bahwa ada upaya sistematis untuk membangun dinasti politik yang tidak hanya melindungi kekuasaan Pak Lurah sebagai kingmaker tetapi juga melanggengkannya.
Kesuksesan Pak Lurah dalam mengkooptasi semua pemimpin partai KIM plus dipakai untuk membangun citra hanya tukang kayu dalam mengaburkan pelanggaran demokrasi yang terjadi. Setiap keberhasilannya dalam merusak demokrasi sangat dinikmati dan rupanya kenikmatan ini seperti candu yang makin membuatnya mabuk atau stone kekuasaan dan membuatnya semakin berani untuk melanjutkan praktik-praktik otoritarian tersebut.Â
Atau Power tends to corrupt, but absolute power is corrupt absolutely. Seberapa nikmat yang bisa dinikmati atau dirasakan oleh para ketua partai KIM plus, apakah sebanding dengan yang diterima Pak Lurah? Apakah mereka semua hanya mau ikut menjadi koalisi berkuasa tanpa gigi?Â
Apakah harga stempel anggota koalisi partai penguasa itu sebanding? Rupanya hanya Golkar yang berhasil meraup atau memanfaatkan stempel ini, dengan menambah jumlah kursi secara signifikan. Tetapi berapa harganya yang harus dibayar Golkar, cukupkah hanya dengan memundurkan Airlangga Hartarto? Â Seandainya Golkar tidak bergabung dengan Prabowo dan mengusung sendiri Airlangga Hartarto menjadi Capres, maka akan berbeda situasinya, bisa saja Hartarto malah bisa menang Capres.Â
Kesuksesan Pak Lurah dalam mengkooptasi semua pemimpin partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus adalah bagian dari strategi besar untuk mengaburkan pelanggaran demokrasi yang terjadi. Citra Pak Lurah sebagai "tukang kayu" yang sederhana dipakai untuk menutupi tindakan-tindakan otoritarian yang merusak demokrasi.Â
Setiap keberhasilan dalam mengikis demokrasi tampaknya memberi kepuasan tersendiri bagi Pak Lurah, yang semakin berani untuk melanjutkan praktik-praktik otoritariannya. Fenomena ini mengingatkan pada pepatah " Power tends to corrupt, but absolute power is corrupt absolutely. Atau kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut pasti akan korup secara absolut," yang menggambarkan bagaimana kekuasaan yang tak terbatas bisa menjadi candu yang memabukkan.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, seberapa besar kenikmatan yang dirasakan oleh para ketua partai dalam koalisi KIM dibandingkan dengan Pak Lurah? Apakah mereka puas hanya dengan menjadi bagian dari koalisi yang berkuasa tanpa memiliki pengaruh yang signifikan?Â
Misalnya, Golkar berhasil memanfaatkan posisinya dalam koalisi dengan menambah jumlah kursi di parlemen secara signifikan. Namun, harga yang harus dibayar untuk itu adalah mundurnya Airlangga Hartarto dari Ketua Umum Golkar, belum kemungkinan pengambilan kekuasaan partai oleh Pak Lurah .Â
Ini adalah pengorbanan besar yang harus dihitung dengan cermat, mengingat bahwa jika Golkar tidak bergabung dengan Prabowo dan malah mengusung Airlangga sebagai capres, situasinya bisa saja sangat berbeda. Airlangga mungkin memiliki peluang untuk memenangkan pemilu.
Di sisi lain, pertanyaan serupa juga berlaku bagi PDIP, partai terbesar nomor satu seindonesia yang tampaknya terus mengikuti dan mendukung arah kekuasaan Pak Lurah. PDIP harus mempertimbangkan apakah loyalitas mereka kepada Pak Lurah akan menghasilkan manfaat yang sebanding dengan risiko yang dihadapi. Misalnya, Sekjen PDIP Hasto Kristianto pernah dipanggil oleh KPK, dan ada spekulasi bahwa ini bisa menjadi alat untuk menekan PDIP agar tetap mengikuti kemauan Pak Lurah.Â