Mohon tunggu...
Iwan Murtiono
Iwan Murtiono Mohon Tunggu... Lainnya - Google-YouTube project contractor

Pembela hak asasi dan demokrasi dengan bias sebagai orang Indonesia dalam memakai kacamata untuk melihat dunia, termasuk dalam memupuk demokrasi yang agak membingungkan antara demokrasi murni atau demokrasi a la Indonesia. Bahwa kita sering melihatnya dalam perspektif yang berbeda, karena demokrasi itu juga adalah sebuah karya kreatif dalam pembentukannya yang tidak pernah rampung, termasuk yang anti demokrasi juga tidak pernah lelah berusaha terus menguasai demi kepentingan sebagian kecil atau oligarki

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Numbness: Terbiasa dengan Kerusakan Demokrasi

25 Agustus 2024   06:13 Diperbarui: 25 Agustus 2024   20:23 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Democracy.org/humanism

Di tengah semakin hancurnya tatanan demokrasi di Indonesia, para pegiat demokrasi yang berjuang di luar lingkup partai, atau yang telah meninggalkan partai demi prinsip-prinsip demokrasi, kian merasa cemas melihat situasi yang semakin memburuk. Mereka menyaksikan bagaimana sistem demokrasi yang dahulu kokoh kini mulai rapuh, tergerus oleh praktik-praktik politik yang semakin jauh dari nilai-nilai demokrasi. 

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang pada awalnya menjadi bagian dari koalisi besar pendukung Pak Lurah, mulai menyadari bahwa keterlibatan mereka dalam mendukung kekuasaan tanpa batas ini telah menyebabkan kerusakan yang merembet dan bahkan mengancam keberlangsungan partai itu sendiri. 

PDIP, yang pernah menjadi kekuatan dominan, kini menemukan diri mereka dalam posisi yang semakin terkucil, terhimpit oleh dominasi partai-partai lain yang terus mendukung kekuasaan tanpa mempertanyakan arah kebijakan yang diambil. 

Bahkan, perdebatan publik yang seharusnya menjadi ajang untuk mempertahankan demokrasi telah berubah menjadi sekadar formalitas, di mana suara-suara kritis dari PDIP semakin terpinggirkan. Hal ini mencerminkan betapa pentingnya mekanisme check and balances dalam demokrasi, yang sayangnya semakin menghilang dalam politik Indonesia saat ini. 

Kompetisi calon presiden (Capres), yang seharusnya menjadi medan adu gagasan dan visi untuk masa depan bangsa, kini berubah menjadi sandiwara politik yang mengecewakan. Debat-debat yang diselenggarakan, yang seharusnya menjadi panggung untuk memperjuangkan argumen-argumen yang solid, justru berubah menjadi ajang retorika kosong. Calon-calon yang seharusnya bersikap tegas dalam mempertahankan prinsip demokrasi justru tampak amnesia, melupakan janji-janji mereka dan bergabung dalam arus besar yang mengancam demokrasi. 

Dalam koalisi Indonesia Maju (KIM Plus), yang mendukung Capres Prabowo dan Capres Anies, para partai pendukung lebih sibuk dengan yel-yel dan teriakan, mengubur perdebatan tentang siapa yang sebenarnya memiliki gagasan paling baik. Semuanya seakan lupa pada tujuan utama demokrasi---memilih pemimpin yang mampu membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Bukannya berfokus pada program yang jelas lebih baik, mereka malah bersatu untuk mengeroyok partai pendukung Capres nomor 3, yang berani berbeda dan menentang arus besar.

Fenomena ini menjadi semakin tragis ketika melihat bagaimana rakyat, yang seharusnya menjadi penentu dalam demokrasi, justru ikut terseret dalam arus "Manut Grubyuk." Dalam aksi-aksi demonstrasi yang terjadi minggu ini, para demonstran tampaknya tidak lagi bergerak berdasarkan prinsip, tetapi lebih seperti ikut-ikutan tanpa pemahaman yang mendalam. Mereka yang seharusnya memprotes kebijakan yang merusak demokrasi, malah terjebak dalam pola pikir yang sama dengan mereka yang merusak demokrasi, hingga ada kesan bahwa mereka turut serta dalam upaya membubarkan PDIP.

Situasi ini semakin diperparah oleh penggunaan taktik intimidasi dan manipulasi yang telah berlangsung lama dan intens. Masyarakat, yang semula kritis, kini mulai menjadi kebal dan terbiasa dengan pendekatan otoritarian ini, dan kehilangan daya kritis mereka terhadap pemerintah. Meskipun ada kekuatan oposisi, kebiasaan "Manut Grubyuk" telah membuat oposisi tersebut kehilangan daya pengaruhnya.

Untuk memulihkan demokrasi yang telah rusak ini, beberapa langkah penting harus diambil:

  1. Kesadaran Publik: Masyarakat harus diberikan pendidikan politik yang memadai agar mampu melihat dan memahami bahaya dari praktik-praktik otoritarian yang disamarkan sebagai populisme. Pendidikan politik ini harus menekankan pentingnya check and balances serta kebebasan berekspresi sebagai pilar demokrasi.

  2. Reformasi Internal Partai Politik: Partai-partai politik, terutama PDIP, perlu melakukan introspeksi dan reformasi internal. Mereka harus mengembangkan kriteria yang lebih ketat dalam memilih kader yang benar-benar menghargai dan memperjuangkan demokrasi, seperti yang diamanatkan oleh Bung Karno dalam Pancasila.

  3. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    5. 5
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
    Lihat Vox Pop Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun