Dalam situasi seperti ini, di mana intimidasi politik dan manipulasi kekuasaan telah menjadi norma, penting bagi masyarakat Indonesia untuk tetap waspada dan kritis terhadap setiap langkah yang diambil oleh pemerintah.Â
Untuk memulihkan demokrasi masyarakat harus diberdayakan dengan pendidikan politik yang memadai, yang dapat membuka mata mereka terhadap bahaya populisme yang disamarkan. Partai politik perlu melakukan reformasi internal untuk memastikan bahwa mereka dipimpin oleh kader yang benar-benar menghargai prinsip-prinsip demokrasi. Oposisi harus diperkuat agar dapat menjalankan perannya sebagai penyeimbang kekuasaan, dan kebijakan-kebijakan yang membatasi kebebasan berekspresi harus segera diubah.Â
Begitu juga perlu dihitung, apa hasilnya bagi PDIP untuk terus mengikuti dan mendukung papan arah kekuasaan Pak Lurah? Karena 2 partai terbesar ini menjadi target penghalang Pak Lurah, sehingga seperti Hasto Kristianto juga dipanggil KPK untuk dibuatkan sprindik, siapa tau berhasil diintimidasi dan kembali menuruti saja, apa kemauan Pak Lurah.
Dalam beberapa tahun terakhir, keberhasilan Pak Lurah dalam mengobrak-abrik demokrasi mendapat dukungan besar dari koalisi gemuk yang telah dikonsolidasikan dengan cermat, Termasuk penggunaan PDIP dan tokoh kunci seperti Megawati sebagai perisai politik. Dukungan ini terus mengalir karena banyak pihak tidak menyadari bahwa Pak Lurah mulai memanfaatkan loyalitas ketua-ketua partai yang berlomba-lomba untuk menunjukkan dukungan mereka, didukung pula oleh organisasi-organisasi non-partai yang pro-Pak Lurah dan berperan aktif di media sosial.Â
Fenomena ini mengingatkan pada konsep "Manut Grubyuk" dalam budaya Jawa, di mana banyak orang yang mengikuti arus tanpa berpikir kritis, yang dalam konteks ini berarti ikut aktif berperan merusak demokrasi secara kolektif, baik secara sadar maupun tidak. Mendikte semua ketua partai menggunakan strategi propaganda memanipulasi figur polos, memelas dan terpercaya.Â
Jadi kalau Pak Lurah dan sebagian pimpinan partai mulai membuat cacat demokrasi, semuanya pasti berbondong bondong ikut ambil bagian. Fenomena ini mencerminkan konsep "Manut Grubyuk" dalam budaya Jawa, di mana banyak orang yang mengikuti arus tanpa berpikir kritis.Â
Mereka cenderung ikut-ikutan dalam tindakan yang, dalam konteks ini, merusak demokrasi secara kolektif. Ketika Pak Lurah dan sebagian pimpinan partai mulai melemahkan prinsip-prinsip demokrasi, banyak yang ikut serta dalam tindakan tersebut, meskipun mereka mungkin tidak sepenuhnya memahami dampaknya.
Mereka inilah yang dalam terminologi demokrasi sering disebut sebagai "useful idiots"---orang-orang yang tanpa sadar menjadi alat untuk tujuan yang merugikan, bahkan menghancurkan demokrasi yang seharusnya mereka lindungi.
Contoh nyata dari kebodohan kolektif ini adalah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kontroversial, seperti putusan nomor 90 yang membengkokkan aturan konstitusi untuk Gibran dibantu paman Usman, dan kemudian diulangi dengan putusan nomor 60 rupanya hendak dimanipulasi lagi atau mau ditulis ulang dengan undang undang Pilkada oleh DPR, demi Kaesang. Kebodohan ini terus diulang ulang  dan para pemimpin yang Manut Grubyuk tersebut tetap saja bisa digunakan berulang ulang, walaupun kebodohannya makin mencolok, seperti useful idiots.
Untuk memulihkan demokrasi yang telah rusak, penting bagi masyarakat Indonesia untuk menyadari peran mereka dalam proses demokrasi dan tidak hanya mengikuti arus tanpa berpikir kritis. Perlu ada kesadaran kolektif bahwa setiap tindakan yang merusak demokrasi, meskipun terlihat kecil, dapat memiliki dampak besar pada masa depan negara.Â
Selain itu, partai-partai politik perlu menjalani reformasi internal untuk memastikan bahwa mereka tidak hanya menjadi alat bagi ambisi otoritarian, tetapi benar-benar memperjuangkan demokrasi yang sehat dan berkelanjutan.Â