Mohon tunggu...
Iwan Murtiono
Iwan Murtiono Mohon Tunggu... Lainnya - Google-YouTube project contractor

Pembela hak asasi dan demokrasi dengan bias sebagai orang Indonesia dalam memakai kacamata untuk melihat dunia, termasuk dalam memupuk demokrasi yang agak membingungkan antara demokrasi murni atau demokrasi a la Indonesia. Bahwa kita sering melihatnya dalam perspektif yang berbeda, karena demokrasi itu juga adalah sebuah karya kreatif dalam pembentukannya yang tidak pernah rampung, termasuk yang anti demokrasi juga tidak pernah lelah berusaha terus menguasai demi kepentingan sebagian kecil atau oligarki

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menilai Karakter Elon Musk dari Afiliasi Politik & Kebebasan Berekspresinya

21 Agustus 2024   00:40 Diperbarui: 21 Agustus 2024   02:29 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kepemilikan perusahaan sosial media platform X milik Elon Musk (sebelumnya dikenal sebagai Twitter) didorong dengan ambisi keviralannya. Sejak itu banyak orang yang tertarik perhatiannya karena ketersimanya dengan trend teknologi ala Elon. 

Sekarang ini mulai dilakukan perubahan besar besaran untuk menyelaraskan dengan pandangan konservatifnya, sehingga perubahan ini tidak atau belum bisa diterima oleh generasi muda, sehingga mereka berpindah dari X dan mereka bersama platform progresif mulai  mendorong percakapan dengan agenda progresif di platform lain, membentuk diskusi masa depan tentang ras, gender, dan inklusi. 

Keterlibatan politik Elon Musk dan tindakan publiknya mencerminkan motivasi yang kompleks. Banyak kasus Elon sepertinya bukan sekadar membangun platform yang selaras dengan nilai-nilai golongan Kristen pria berkulit putih, walaupun lebih banyak memberikan akses kepada golongan ini. 

Sudah lama Musk telah mengkritik Presiden Biden dan Partai Demokrat, terutama terkait dukungan mereka terhadap serikat pekerja (khususnya industri otomotif), tindakannya tampaknya lebih didorong oleh ideologi libertarian dan pro-bisnis. Sikap vokal Musk terhadap isu-isu seperti kebebasan berbicara dan regulasi pemerintah, serta oposisi terhadap beberapa kebijakan Demokrat, kemungkinan besar berakar pada kepentingan bisnis dan keyakinan pribadinya, bukan karena alasan warisan budaya.

Perhitungan dagang Elon yang kurang bijaksana terbukti dari kurang diperhitungkan dengan matang apa yang diisyaratkan tentang anti labor union atau lebih tepatnya anti united auto worker union. Dalam perhitungannya hanya ada satu faktor atau variabel saja yaitu labor union sebagai pengganggu aktivitas bisnisnya, padahal bentukan labor union pabrik Tesla yang dimilikinya yang mendorong Biden dan partai Demokrat untuk memberikan subsidi mobil elektroniknya selama 11 tahun sejak 2012. 

Dan total subsidi yang diterima semua perusahaan Elon sebesar $8.1 juta untuk Tesla dan SpaceX. Belum Tesla pada Januari 2010 menerima pinjaman sangat lunak dari departemen energi sebesar $465 juta. Masih ada lagi, yaitu ditambah lagi kredit pajak jual beli sebesar $3.4 miliar. Sekarang kalau kita berhitung dengan berapa ongkos serikat pekerja mobil di pabrik Tesla yang diambil dari iuran karyawan? Jadi seberapa cerdik cara memperhitungkan semua ini ke dalam keputusan bisnis Elon? 

Jadi rasanya aneh kalau Elon setelah 11 tahun menikmati subsidi dari pemerintahan partai Demokrat, sekarang berbalik berafiliasi ke partai Republik. Ini menunjukkan sifat Elon yang suka menggunakan emosi yang suka berubah ubah atau ingin kelihatan bingung dan ingin serupa dengan Trump yang juga kelihatan bingung tergantung pada angin yang berhembus. Sejumlah 35% penduduk AS senang dengan model idola yang bingung seperti mereka, atau kelihatan seperti orang biasa dan sepertinya bukan orang elit, padahal mereka adalah orang super elit, yang berkamuflase atau superficial.

Pendekatan Elon Musk terhadap kebebasan berbicara, terutama di platform X, telah menjadi kontroversial. Para kritikus berpendapat bahwa pendekatannya tampak selektif, memungkinkan konten berbahaya, termasuk misinformasi, teori konspirasi, dan bahkan retorika kekerasan, untuk menyebar. Musk menggambarkan kebijakannya sebagai upaya untuk mempromosikan kebebasan berbicara, tetapi keputusannya memicu perdebatan tentang apakah itu justru memungkinkan konten berbahaya berkembang. 

Pendekatan selektif ini sering kali dilihat sebagai upaya untuk mengutamakan metrik keterlibatan di atas peran platform dalam menekan narasi berbahaya, yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan banyak pengamat. Sikap Musk tentang kebebasan berbicara di X memang telah dikritik karena lebih memprioritaskan keterlibatan pengguna daripada keselamatan. Membiarkan narasi berbahaya berkembang dengan dalih kebebasan berbicara menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawabnya dalam mengendalikan konten yang berbahaya. 

Pemberontakan di Gedung Capitol pada 6 Januari adalah contoh bagaimana misinformasi dan retorika kekerasan yang tidak terkendali dapat merusak demokrasi. Para kritikus berpendapat bahwa platform seperti X seharusnya memainkan peran yang lebih aktif dalam mengurangi dampak buruk, bukan hanya memaksimalkan keterlibatan pengguna, terutama mengingat konsekuensi nyata dari hasutan online.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun