Sejarah Aturan Policy Perusahaan Platform
Supaya model ini dapat diterima di seluruh dunia dan tidak menyinggung kapatutan norma dan etika lokal maka dibuatlah rambu rambu policy yang dicanangkan oleh pimpinan YouTube. Awalnya, sering  terjadi pelanggaran kepatutan, bahkan pelanggaran yang paling serius pun pernah terjadi. Apalagi mengingat bahwa semakin viral ketidak patutan kontennya, maka akan mendorong  pertambahan viewer yang makin berjutaan jumlahnya. Ini adalah model traffic viewers, yang sebetulnya dalam sejarahnya YouTube telah meroketkan jumlah subscribernya pada awal pendiriannya. Rupanya setelah tenar, besar dan sangat menguntungkan, mereka mulai menerapkan policy untuk mengklasifikasikan skala kepatutan umur dan masih memonetisasi semuanya.Â
Baru setelah banyak boikot dari perusahaan besar beretika yang menolak untuk beriklan pada konten tak berakhlak, yang akhirnya menuntut atau meminta ada jaminan etika konten, maka dibuatlah aturan atau policy kategori skala kepatutan umur. Karena menurut pemikiran kewajaran pengiklan, mereka tidak akan menempatkan iklan di kategori umur dewasa atau konten yang menabrak semua norma dan etika. Ini akhirnya diterima oleh pengusaha platform, sehingga diikutilah keengganan pengiklan dengan menerapkan Block Ads (BA) atau artinya Tidak untuk Iklan. Dan pengonten itu banyak akalnya dan ini dimanfaatkan oleh pengonten yang sengaja tidak suka kontennya ditunggangi iklan dan menciptakan channel non iklan (BA).Â
Pengetatan Aturan Policy di Musim Kampanye
Setiap 4 tahun sekali sesuai dengan siklus pemilu di AS, maka aturan atau policy dalam suasana kampanye ini juga mengalami pengetatan secara sementara atau 8 - 9 bulan sebelum dimulainya, dan 3 bulan sesudah adanya hasil presiden terpilih. Â Dan nantinya setelah kampanye usai maka aturan ini akan dilonggarkan kembali, karena dana iklan kampanye sudah habis, dan perlu revenue yang konstan atau lebih. Dana kampanye, biasanya besar sekali sampai bisa mencapai lebih dari 50% penghasilan. Platform media sosial sekarang ini malah menjadi sarana utama untuk beriklan dengan cara memanfaatkan platform media yang didasari konten beretika atau sealiran dengan partai afiliasi platformnya. Atau, kalau tidak, Â platform ini bakal tidak akan dipilih untuk iklan kampanye sama sekali, kalau terlalu ekstrim atau tidak fair. Maka mayoritas memilih menjadi platform yang banyak isi kontennya non partisan. Konten non partisan ini banyak diminati, karena diyakini viewersnya pasti kaum moderat atau independen yang belum masuk perangkap captive market atau keanggotaan partai, cocok sekali untuk memenangkan pemilu dari sisa pemilih yang belum yakin mau nyoblos.
Sekitar tahun kampanye Amerika Serikat 2019, banyak disinformasi dan misinformasi yang beredar, terutama dari pihak pendukung Trump. Untuk itu, YouTube mulai mengetatkan kebijakan monetisasi, mengkategorikan konten dalam berbagai skala kepatutan umur. Misalnya, konten untuk pendidikan atau lagu anak kecil (G), anak gede (PG), remaja (T), hingga dewasa (MA).
Kebijakan Fleksibel
Sebagai cara meningkatkan pendapatan yang sempat mengalami penurunan pada suatu saat sekitar tahun 2021 an, maka dibuatlah aturan fleksibilitas atau aturan yang memungkinkan dilonggarkannya aturan policy yang mencekik penghasilan. Fleksibilitas aturan adalah bentuk inovasi baru dalam platform media. Pada prinsipnya adalah mendorong kepatutan etika sampai keujung atau ambang batasnya, yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya. Ini sejauh yang memungkinkan dan etis karena masih merupakan gray area, atau area mengambang atau abu abu. Dengan pengertian dasar ini, maka dibuatlah trik dan strategi tweaking policies untuk mengatur fleksibilitas aturan. Misalnya, konten kategori MA bisa diturunkan menjadi kategori teen dengan tambahan syarat, seperti tempo singkat atau tidak fokus (blurred). Atau dalam karya seni musik, kata jorok bisa dibatasi 3 kali untuk bisa masuk kategori PG. Berarti kalau anak anak pada usia kategori anak geda yang dulunya tidak boleh ngomong jorok sebelumnya, sejak tahapan policy baru PG ini mulai diperkenalkan dan dibiasakan mendengar kata kata jorok sejauh F words. Untungnya atau ruginya, tergantung yang melihat, rupanya mengaburkan salah pengertian dari analis yang bukan lokal misalnya analis Malaysia mulai membolehkan F word dalam bahasa Indonesia yang dulunya diartikan oleh bangsa Malaysia sangat jorok.
Proyek Trust & Safety
Dalam situasi kampanye seperti suasana AS pada saat ini, maka semua konten menjadi lebih dianalisa lebih jauh dengan aturan policy yang disesuaikan dengan jargon jargon misinformasi dan disinformasi. Ini berlaku bagi semua konten berbagai bahasa dan negara karena kantor pusat di AS.  Berarti sekarang ini sedang ada pengetatan, supaya kelihatan fair, non partisan dan para pengiklan bisa lebih percaya, kalau iklannya akan aman. Maka mulailah rame rame mereka semua perusahan platform media menyebut proyek dan perusahaan mereka ini sebagai proyek dan perusahaan  berdasarkan Trust & Safety. Atau kalau jaman dulu terkenal dengan sertifikasi ISO 9000. Gunanya untuk memberikan kesadaran pada para pekerja dan analis konten untuk menjaga kualitas konten yang beretika dan penuh norma, yang bisa dipercaya dan aman untuk masyarakat global. Jadi semua pengiklan juga merasa aman dan bisa mempercayai kalau perusahaan platform akan menjaganya sesuai dengan nama proyeknya. Sekaligus juga untuk mengurangi dan memagari diri omelan dan pemanggilan Congress AS.  Untuk pegawainya pun sampai dibuat seolah olah Trust & Safety ini nafasnya, jadi sampai menyebut ruang kerja mereka adalah controlled area, yang dijaga ketat dengan satpam dan bahkan tidak diperbolehkan membawa masuk atau keluar peralatan electronic, seperti smartwatch atau earbud sekalipun. Padahal tujuan utamanya hanya untuk menjaga kualitas konten yang beretika dan penuh norma dan non partisan. Ini semua bukan berarti bahwa kita tidak akan menemukan konten ekstrim, karena para pembuat konten juga sudah sangat pintar dengan berbagai triknya yang pasti bisa lolos. Makanya jangan heran kalau pernah menemukan konten yang sangat mengerikan.
Pengaruh Kebijakan terhadap Penghasilan