Mohon tunggu...
!wan Jemad!
!wan Jemad! Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Tuhan menciptakan dunia dengan kata, dan manusia menciptakan Tuhan juga dengan kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pemeluk Agama, Pemalak Tuhan

16 Maret 2017   13:45 Diperbarui: 16 Maret 2017   13:51 1238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Halo, kamu seorang pemeluk agama?” tanya Tuhan pada tokoh aku dalam puisi Jokpin yang dimuat KOMPAS/8/8/2015. Sang tokoh dalam puisi tersebut dengan gigih menjawab, “Sungguh, saya pemeluk teguh, Tuhan”. Sejenak Tuhan diam, kemudian bercanda. “Lho, Teguh si tukang bakso itu, hidupnya lebih oke dari kamu, gak perlu kamu peluk-peluk.” 

Kalau saja pertanyaan itu dilemparkan kepada kita, saya curiga kita mungkin memiliki jawaban yang serupa. "Benar Tuhan, kami pemeluk teguh. Jika tidak percaya, Tuhan lihat saja KTP kami." 

Kita memang para pemeluk dari agama tertentu (teguh atau tidak). Setidaknya pemeluk salah satu dari agama yang telah disediakan pemerintah. Tak jadi soal bila kita tak sungguh-sungguh beriman dalam agama yang dipeluk. Hal yang paling penting adalah kita memeluk sebuah agama. 

Namun, apa artinya menjadi pemeluk sebuah agama?

Pemeluk Teguh

Di Indonesia dicatat demikian. Ketuhanan Yang Maha Esa ditempatkan sebagai sila pertama. Entah bagaiamana itu dirumuskan, setidaknya sila pertama hendak menegaskan bahwa orang Indonesia adalah orang yang berTuhan. Kemudian, keberTuhanan itu difasilitasi oleh negara melalui agama. Sekurang-kurangnya ada enam agama yang diperhitungkan sebagai yang resmi di Indonesia. Ketika ada yang memiliki iman yang tak mungkin terpenuhi dalam enam agama yang resmi, mereka dengan gampangnya akan dianggap sesat. Meskipun demikian, negara perlu menjaga semua warga (juga mereka yang dianggap sesat) demi apa yang diserukan dalam UUD 1945. Bahwa “tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya” dan “menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya”.

Agama kemudian dianggap sebagai sebuah formalitas belaka. Demi keabsahan sebagai seorang warga negara. Agama sebagai sebuah institusi lebih melekat kuat, daripada iman kepada Tuhan. Idealnya semua orang yang beragama, pasti juga beriman. Dan setiap iman pada Tuhan yang diwadahi oleh agama tertentu selalu berjalan beriringan dengan kehidupan sosial yang baik. Tetapi, di negeri di mana Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sila pertama, yang terjadi seringkali yang sebaliknya.

Kekerasan antara (atau mengatasnamakan) agama acapkali terjadi. Korupsi dilakukan oleh mereka yang beragama dan rajin beribadah. Semua penjahat adalah orang yang taat mengisi kolom agama pada KTPnya. Sekurang-kurangnya ia beragama, entahkah ia selalu gagal mengamalkan ajaran agama dan melaksanakan imannya atau tidak. Seorang korputor juga dapat memberi sedekah yang besar demi mengamalkan ajaran agama. Jika di ujung timur Indonesia masjid dibakar, di ujung Barat Indonesia gereja dibongkar dan kemudian dibakar. Semua itu dilakukan oleh mereka, yang seperti tokoh aku dalam puisi Jokopin, menyebut dirinya sebagai pemeluk teguh.

Seseorang memang tidak serta merta menjadi suci hanya dengan mengisi kolom agama pada KTP. Tetapi, agama yang tertera pada kartu identitas seharusnya memiliki dampak bagi kehidupan pribadi dan sosial dari pemilik yang mengaku pemeluk teguh. Begitu pula dengan korupsi. Ia tak serentak menjadi perbuatan mulia jika uangnya disedekahkan untuk pembangunan rumah ibadat. Tentu, apa yang dilakukan oleh seorang yang beragama, tidak menceritakan sepenuhnya kebenaran yang terkandung dalam agamanya.  Tetapi, seorang pemeluk, memiliki peranan yang sangat penting, untuk menciptakan kesan umum terhadap agama tertentu. Bahwa kejahatan tidak punya agama, itu benar. Tetapi ketika orang yang beragama melakukan kejahatan, orang mudah untuk menghubungkannya dengan agama yang dipeluknya.

Mungkin karena kita terlalu terburu-buru untuk segera beragama, sampai lupa caranya beriman. Maka, kita seringkali menjadi lebih sensitif dan peduli dalam perkara pembangunan rumah ibadat, ketimbang menumbuhkan kesadaran-kesadaran religious yang lebih toleran.

 Iman harus selalu direfleksikan dari praksis dan pengalaman hidup. Apa relevansi sosial dari pilihan (atau mungkin keterpaksaan) kita untuk memeluk agama tertentu?  Apakah religiusitas hanya ditakar sebatas seberapa sering kita mendaraskan doa dan puasa, sementara ketidakadilan berkeliaran di sekitar kita?  Saya bersyukur (sekaligus juga ditantang), iman Kristen saya tidak pertama-tama dibenarkan hanya karena saya sering merayakan ekaristi dan berdoa, tetapi juga ditentukan oleh seberapa sering saya menaruh perhatian terhadap penderitaan sesama, dan mengamalkan kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun