Mohon tunggu...
!wan Jemad!
!wan Jemad! Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Tuhan menciptakan dunia dengan kata, dan manusia menciptakan Tuhan juga dengan kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pemeluk Agama, Pemalak Tuhan

16 Maret 2017   13:45 Diperbarui: 16 Maret 2017   13:51 1238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karena agama tidak membuat manusia menjadi malaikat. Karena agama tidak punya lengan untuk memeluk pengikutnya. Tetapi pengikutnya yang memiliki lengan untuk merentangkan peluk. Dalam dialog selanjutnya antara tokoh aku dan Tuhan dalam puisi Jokopin, Tuhan bertanya lagi. “Benar kamu pemeluk agama?” Tokoh aku menjawab, “sungguh, saya pemeluk agama, Tuhan.” Lalu Tuhan menambahkan, “Tapi, Aku lihat kamu gak pernah memeluk. Kamu malah menyegel, membakar, merusak, menjual agama. Teguh si tukang bakso itu, malah sudah pandai memeluk.”

Di tangan pemeluknya, agama bisa menjadi berkat atau kutuk bagi yang lain. Lalu, apakah dengan demikian agama tidak lagi diperlukan ?

Belaskasihan: Nada Dasar Hidup Beragam

Karen Amstrong menuliskan ulasan yang menarik dalam bukunya yang berjudul Compassion. Ia menjelaskan belaskasihan sebagai nilai dasar dalam setiap agama. Sikap welas asih berbeda dari persaaan yang biasanya bersifat fluktuatif, mudah meledak-ledak, tergantung situasi yang dihadapi. Kita bisa menyayangi seseorang detik ini, namun di saat yang lain, kita bisa berbalik membencinya dengan berbagai alasan, bahkan alasan yang irrasional sekalipun. 

Namun sikap welas asih adalah sesuatu yang selalu ada, dalam kondisi apapun, kepada siapapun, bahkan termasuk kepada musuh sekalipun. Amstrong menggambarkan sikap welas asih mirip dengan sikap seorang ibu terhadap bayi yang dilahirkannya. Ibu akan selalu mengasihi anaknya meski si anak melakukan hal-hal yang melukai hati sang ibu.

Compassion bisa tumbuh ketika manusia berhasil menekan egonya dan lebih mementingkan sesama. Itulah sebabnya, manusia yang punya sikap welas asih, tidak akan bisa hidup tenang. Dia akan selalu risau memikirkan nasib sesama manusia yang tertindas, di manapun mereka berada. Dalam sikap welas asih, tidak ada lagi ‘mereka’ atau ‘saya’, yang ada adalah ‘kita’. Terorisme di Afghan, Pakistan, atau Suriah tidak lagi urusan ‘mereka’, karena setiap saat akan bisa hadir di tempat ‘saya’. Karenanya, ini semua adalah urusan ‘kita’ dan kita semua harus bergandengan tangan untuk menyelesaikan problem besar ini.

Kekerasan yang muncul sepanjang sejarah tidak menceritakan kekahasan dari keaslian pribadi manusia. Bagi Karen Amstrong, keutamaan dasar yang ada dalam diri setipa manusia adalah belaskasiha. Nilai yang sama pula ditemukan dalam semua agama, compassion. Ia menunjukkan 12 langkah yang perlu ditempuh menuju hidup yang penuh welas kasih. Langkah-langkah yang sebenarnya juga terkandung dalam ajaran setiap agama. Agama tidak pernah membenarkan pembunuhan, atau mengiyakan permusuhan. Agama selalu menuntut bagi setiap pemeluknya untuk menenteng kebaikan dan sekaligus menentang kejahatan. Tetapi, nampaknya hal ini selalu gagal diamalkan.

Agama selalu dipersoalkan karena menyangkut siapa yang benar dan siapa yang salah. Ketika kita memutuskan untuk beragama, berarti kita memiliki posisi atau cara pandang tertentu terhadap realitas. Dengan beriman berarti kita memilih paham atau cara berada tertentu terhadap realitas (alam, manusia dan bahkan Allah), cara berada yang khas tentang moral dan bakhan mengenai sejarah. Sekalipun memiliki cara berada yang berbeda, setiap agama selalu pasti menentang kejahatan. Kejahatan tentu selalu objektif, tidak pernah berciri subjektif. Di setiap masyarakat, membakar rumah ibadat (agama apa pun) bukanlah sesuatu yang baik dan dapat dibenarkan dengan alasan apa pun. Apalagi, jika itu dilakukan oleh orang beriman.

Agama akan selalu baik. Tetapi, setiap orang tidak bisa dipastikan menjadi lebih baik hanya karena menganut agama tertentu. Selanjutnya, agama juga tidak dapat disalahkan hanya karena banyaknya kejahatan yang seringkali dihubungkan dengan agama. Kejahatan tidak memiliki agama. Maka, ketika rumah ibadat dibakar atau dibongkar, kita tak perlu mengecam agama atau menyesal karena terlanjur beragama.

Mewartakan Pelukan

Untuk ketiga kalinya, Tuhan bertanya pada tokoh aku dalam puisi Jokopin. “Benar kamu pemeluk agama?” Kali ini, tokoh aku dengan jujur mengakui, “Sungguh, saya belum memeluk, Tuhan.” Pengakuan yang tidak datang terlambat, meskipun ia sudah terlanjur menyegel, menjual agama. Seperti tokoh aku, kita mungkin perlu mengakui, betapa pun kita beragama, kita tentu bukan pemeluk yang baik. Boleh jadi, pelukan kita telah berubah menjadi cekikan bagi agama, yang membuat nilai-nila dasar dalam agama tidak nampak dan mewujud.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun