"Ah, omong kosong!" sergah ibu Irma.
Pak Lathif yang selama pertemuan hanya mendengar dan menyaksikan rekan-rekannya bersilang pendapat, mencoba angkat bicara.
"Ibu Irma, Pak Sudrajat, dan bapak ibu semua. Saya mengajar di kelas Ezi dan Riko. Saya mengamati keduanya, seperti yang bapak dan ibu lakukan. Saya juga tiga kali mendamaikan keduanya yang nyaris berbaku hantam. Izinkan saya menyampaikan temuan pada pelajaran yang saya asuh."
"Belum lama ini, berlangsung ujian akhir semester di sekolah kita. Hasilnya juga sudah sama-sama kita ketahui. Bapak dan ibu sudah menanda tangani hasil ujian masing-masing. Saya menggaris bawahi pencapaian Ezi dan Riko."
"Riko dan Ezi kebetulan mendapatkan nilai yang sama. Keduanya menempati urutan papan tengah perolehan nilai siswa sekelas. Â Patut dibanggakan, mereka bukan siswa dengan nilai paling kecil. Bagi saya, ini prestasi yang baik, terutama bagi Ezi."
Ibu Irma duduk dengan gelisah. Sepertinya ia ingin segera memotong pembicaraan Pak Lathif. "Interupsi bu kepala", katanya.
Setelah dipersilakan, ia berbicara panjang kali lebar. "Pak Lathif tidak bisa menjadikan mata pelajaran Bahasa Indonesia yang bapak asuh sebagai ukuran. Pelajaran itu sangat mudah, bahkan orang idiot seperti Ezi saja bisa mendapat poin yang menurut bapak bagus. Lain halnya dengan Matematika. Pelajaran ini begitu sulit. Tak banyak siswa yang mendapat hasil memuaskan dalam tes yang lalu. Apalagi Ezi, jeblok nilainya."
Pak Lathif bangkit dari kursinya, "Istighfar bu Irma. Apa perlu saya minta Pak Salam membacakan Surat Al Jin buat ibu?"
Bapak dan ibu guru tertawa. Ibu kepala menyudahi pertemuan sore itu dengan tanpa keputusan. Pertemuan lanjutan akan dilangsungkan pada waktu yang ditentukan kemudian.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI