"Terang saja Nduk, wong mereka udah pada uzur, kiosnya juga udah rata dgn tanah".Â
Aku tertawa kecil, merayakan keriangan Mamih yang perlahan muncul lagi.Â
"Salah satu langganan kami adalah Brian Chaniago, yang kau sapa Opa itu. Brian mahasiswa Teknik Sipil di ITB, tak jauh dari jurusan yang kau ambil", Mamih  bercerita dengan riang. Sepertinya ia tak ingin aku interupsi dengan hal-hal konyol, dengan candaanku.Â
"Ia tinggal ngekost, tak jauh dari kios yang Mamih layani. Karena sering bertemu, Ia jatuh hati. Sementara Mamih masih anak ingusan".
 "Mamih tahu ia tertarik dr sikapnya yg sering gugup saat bertemu. Ia juga sering titip salam pada teman Mamih yang ikut les Matematika padanya".Â
"Terus, Mamih terima salamnya?"Â
"Yaa, Mamih diem aja. Mamih bingung harus gimana".Â
"Lama2 Mamih terbiasa juga dengan kebiasaan titip salamnya Brian. Mamih balas dengan salam lagi. Eeh, Brian tambah gigih berusaha mendekat".Â
"Brian mulai mengirimi surat, lewat teman Mamih itu. Brian mengutarakan rasa sukanya. Ia mencintai Mamih. Ia berkata dlm suratnya bila memandang wajah Mamih membuatnya bahagia. Wajah Mamih selalu membayanginya ke mana pun ia pergi".Â
"Waaah, Mamih ternyata primadona juga, mirip aku".Â
"Huss ngawur, Â kamu yg mirip Mamih".