Aku termenung tuk ke sekian kali. Opa telah berbuat banyak bagi kami. Aku dan setiap pekerja diperlakukannya begitu baik, seperti anak sendiri. Sementara kami terkadang tak acuh padanya. Padahal Opa tak berharap banyak. Sekadar perhatian kecil dan sungging senyuman membuat matanya berbinar. Namun aku kerap luput melakukannya.
Kepergian Opa menyisakan duka mendalam. Rasa sedih di hati seakan terus melekat. Entah, rasa itu begitu kuat. Hari-hari yang kujalani terasa hampa. Opa menjelma belahan jiwa. Kepulangannya meninggalkan ruang kosong. Kesedihan yang kurasa tanpa kusadari terbaca oleh Mamih. Meski jauh, ia memaklumi hal ini. Mamih mengenal Opa dengan baik. Lewat cerita-cerita di telpon, kusampaikan padanya kebaikan hati Opa. Kesendirian Opa, dan kehidupan keluarganya yg misterius. Mamih biasa tak banyak berkata. Ia hanya tersenyum kecil, atau berkata, "O, begitu ya!" Meski begitu, Mamih memiliki keperdulian yg besar pada Opa. Ia selalu bertanya kabar Opa.Â
"Tak baik bersedih lama2, Nduk", kata suara di belakangku.Â
Suara yg kukenal dgn sangat baik.Â
"Lho, Mamih!"Â
"Kapan datang dari Jogja?"Â
"Tadi pagi, dianter Pakle mu".Â
Kedatangan Mamih menguatkan aku. Memupus kesedihan yg selama ini kurasa.Â
"Esok pagi, antar Mamih ke pusara Opa".Â
"Mamih ingin menemuinya Nduk meski terlambat". Suara Mamih trcekat. Samar terlihat linangan air di matanya
 "Salam jumpa, Brian", ucap Mamih. Bersimpuh di tanah makam yang basah dengan  taburan bunga mawar  yang sebagian masih segar, Mamih khusuk mendaras Surat Yasin. Di akhir ziarahnya, Mamih memanjatkan doa untuk para ahli kubur, terkhusus Opa yang ia sapa Brian.Â