Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Perjalanan Cinta Bernama Arbain Walk 2

27 Oktober 2023   16:31 Diperbarui: 27 Oktober 2023   16:35 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Merah putih berkibar di antara peziarah (dokumen pribadi)

Mobil minibus keluaran Negeri Ginseng itu melaju membawa kami. Saya dan lima belas rekan terbagi dalam dua kendaraan. Kami keluar dari Bandar Udara Al Najaf Al Ashraf International saat malam baru saja turun. Mobil kami melaju kencang di ruas-ruas jalan yang lebar diterangi sorot lampu yang terang.

Duduk di sebelah pengemudi Karaeng Ewa, amirul ziarah kami. Pemimpin rombongan yang fasih berbahasa Arab dan Parsi. Dua diantara bahasa yang dipergunakan warga kota Najaf. Terdengar mereka berbincang diselingi tawa berderai. Meski baru bertemu, terlihat keakraban diantara keduanya. Penduduk Najaf umumnya senang berbincang dan memiliki perangai ramah.

Tak sampai satu jam kami menikmati perjalanan, pak sopir yang disapa Amu Ali menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Kami pun turun dengan menenteng tas dan koper bawaan. Tempat yang kami datangi adalah Makam Kumail bin Ziyad, seorang alim pada zamannya yang mendapat karomah, keutamaan, menerima doa dari Nabi Hidir A.S. Untaian doa yang kemudian dikenal sebagai Doa Kumail. Doa yang cukup panjang ini dibaca setiap malam Jumat dan pada pertengahan bulan Syaban yang disebut nisyfu Syaban.

Komplek makam Kumail bin Ziyad terletak di tengah kota. Cungkup makam yang dinaungi "sangkar" besi berornamen keemasan terletak di dalam masjid beratap tinggi dan luas. Tak membuang kesempatan, kami memasuki ruangan makam dan menghantarkan doa ziarah. Inilah ziarah kami yang pertama. Tak kuasa menahan rasa haru. Tak terkira rasa syukur kami. Kami mendapat kesempatan menziarahi pemuka agama yang doanya senantiasa kami baca.

Makam suci Kumail bin Ziyad (dokumen pribadi)
Makam suci Kumail bin Ziyad (dokumen pribadi)

Usai berziarah, kami melanjutkan perjalanan. Mobil kembali melaju di ruas jalan yang lurus dengan pemandangan penuh warna di dua sisinya. Pada satu titik kami melihat deretan toko dengan lampu-lampunya yang menyilaukan. Neon-neon box bergambar iklan produk bertebaran. Terlihat menarik dan unik bagi kami. Produk minuman bersoda yang tak asing di tanah air misalnya, tampil dalam nuansa yang lain. Iklan-iklan itu menggunakan tulisan Arab.

Pada titik yang lain kami melintasi hamparan tanah kosong. Tak banyak yang kami saksikan selain tiang-tiang listrik yang diberi nomor. Selebihnya hanya pemandangan gelap yang menyelimuti. Pada titik-titik yang lainnya lagi, kami menyaksikan gedung-gedung dengan plang nama di depannya. Sepanjang perjalanan pandangan saya tak henti berkelana.

Akhirnya kami sampai di tujuan. Amu Ali kembali memarkir mobilnya dan kami bergegas turun. Kami tiba di lokasi yang kelak akan menjadi lintasan jalan kaki panjang, 80 Km, yang mesti ditempuh. Kami memasuki rumah persinggahan yang akan menampung selama malam dan siang esok harinya. Di tempat ini telah tiba para peziarah yang datang dari Mesir. Mereka telah lelap tertidur, berjejer di satu sisi ruangan yang kami masuki.

Berjalan Kaki 80 Kilometer  

Perjalanan ribuan mil dimulai dari langkah pertama. Ungkapan mashur ini kami lakoni sore ini. Setelah bersistirahat sepanjang malam ditambah duduk-duduk santai sepanjang siang, kami rasa telah cukup untuk menabung tenaga. Kami telah siap dengan ransel di punggung, topi, dan pernik lain yang menunjang perjalanan.

Perjalanan sengaja kami atur di sore hari mengingat musim panas yang sedang berlangsung. Suhu Kota Najaf berkisar antara 40 hingga 46 derajat Celcius. Jauh di atas rata-rata suhu Kota Bandung, tanah kelahiran saya, yang berhawa sejuk. Udara panas mulai terasa pada pagi, siang dan malam hari. Sepanjang hari kami berada dalam keadaan gerah. Saat malam kami pilih untuk berjalan agar terhindar dari sengatan matahari yang cukup ganas. Sengatan yang dapat mendatangkan rasa pening di kepala.

Dengan berbaris kami memasuki ruas jalan yang menjadi lintasan para peziarah. Atribut para peziarah seragam, mengenakan pakaian berkelir hitam. Karenanya, saat bergabung di lintasan ini kita serasa nyemplung ke aliran air berwarna hitam. Ke dalam sungai dengan kelir air yang kelam sebagaimana galibnya sungai di perkotaan kita.  Adapun sebagai pembeda, selembar kacu merah putih kami kenakan di dada. Kain identitas yang dengan segera menyatukan kembali seandainya barisan tercerai berai.

Para peziarah datang dengan semangat membara. Berjalan dengan langkah tegap dan hati yang dipenuhi rasa cinta. Kepada siapa lagi rasa cinta itu berlabuh selain kepada Imam Husein yang bersemayam nun jauh di sana. Di kota Karbala yang menjadi arah tujuan perjalanan. Beragam suara terdengar dilantunkan para peziarah.

Gema Shalawat kerap terdengar bersahutan dengan pekik kerinduan kepada Imam Husein, Ya aba Abillah, wahai ayah Abdillah. Di tepi jalan perangkat pengeras suara berdentum menyiarkan musik suara hati tentang kerinduan, rasa nestapa, penyesalan atau pembacaaan narasi disela tangisan. Bahasa cinta demikian universal. Para peziarah dengan latar belakang geografis yang berlainan, dengan bahasa ibu yang berbeda, larut dalam suasana sedih yang sama.

Suasana  penuh hiruk pikuk, demikian sesak dan padat. Dalam barisan maha panjang peziarah terlihat pasangan-pasangan suami istri beserta keluarga melangkah bersama. Mendorong kereta berisi bayi yang terlelap dan tas-tas bawaan mereka. Perangai mereka riang. Tak terlihat beban berat perjalanan yang mesti ditempuh. Tak tampak rasa payah meski telah puluhan kilo meter melangkahkan kaki.

Merah putih berkibar di antara peziarah (dokumen pribadi)
Merah putih berkibar di antara peziarah (dokumen pribadi)

Seorang wanita muda menggandeng seorang ibu. Langkah kaki keduanya seirama. Tak berjalan dengan cepat, tidak pula lebih lambat dari yang lain. Sambil berjalan, keduanya berbincang. Sesekali sang wanita muda berujar, Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah. Inilah ungkapan saat mereka ingin meminta jalan kepada orang lain yang dirasa menghalangi jalan mereka.

Anak-anak, para remaja, dan kaum muda lebih banyak lagi. Mereka berjalan dengan langkah kaki yang terlihat ringan. Berjalan secara berjamaah atau kelompok-kelompok kecil. Saat melihat ke arah kami, mereka bertanya, China?, Afghan?, Malaysia? Mereka bertanya dari mana kami berasal. Dan anggukan kepala serta senyuman ramah seketika mereka lakukan saat kami menjawab, Andunuzi. Kata ini berarti Indonesia dalam pelafalan bahasa setempat.

"Bazar" Makanan Gratis

Kegiatan berjalan kaki secara kolosal, dengan jarak puluhan kilo meter mungkin tak sering kita saksikan. Tak banyak pula kegiatan berskala global yang diikuti oleh jutaan peserta. Kegiatan Arbain Walk yang kami ikuti mungkin satu diantara peristiwa langka itu. Hal ini yang menjadi nilai lebih yang menumbuhkan rasa bangga serta rasa syukur yang tak terhingga. Tak hanya itu, kegiatan ini masih menyimpan sederet keistimewaan dan keunikan.

Satu keistimewaan diantaranya adalah rasa persaudaraan diantara para peziarah dan warga kota-kota yang dilewati. Tak tampak sikap dan perilaku yang menonjolkan ego atau sikap mementingkan diri sendiri. Tergambar dari perilaku saling memberi jalan, memberi keleluasaan bergerak antar peziarah yang disebut zuwar dalam bahasa setempat. Para zuwar yang berjalan perlahan menempatkan diri dalam sisi kiri. Sementara yang masih kuat berjalan lebih cepat berjalan di sisi kanan. Tak ada tali pemisah diantara keduanya, hanya perasaan saling mendahulukan yang jadi garis pemisah.

Keistimewaan berikutnya, para zuwar tidak perlu cemas akan keperluan perbekalan selama perjalanan Arbain. Tak usah khawatir akan kehausan dan kelaparan atau tidak mendapati tempat beristirahat saat kelelahan. Makanan, minuman, dan tenda-tenda peristirahatan bertebaran di sepanjang lintasan berjalan. Dan tak usah memikirkan uang untuk menebusnya. Semua fasilitas itu diberikan secara cuma-cuma alias gratis.

Bertaburan meja yang menawarkan lembaran roti yang masih hangat. Roti yang baru diangkat dari pembakaran berupa tungku besar di sisi meja. Makanan khas daerah setempat yang memiliki tekstur keras dan padat. Roti biasa disertai orak-arik dadar telur. Telur yang diolah menjadi potongan-potongan kecil nan lezat.

Ada pula kios-kios yang menyediakan makanan berupa kebab. Biasanya antrian para zuwar panjang mengular di tempat ini. Sambil beristirahat melemaskan otot, para zuwar dengan sabar menunggu antrian. Tak berbilang penyedia minuman air mineral. Di tempat yang diibaratkan sebagai "padang pasir", air bening melimpah untuk diminum sepuasnya.

Yang khas dari segala hal baru yang kami temui adalah hidangan berupa teh manis yang disebut "choi". Racikan air mendidih yang ditaburi teh dengan warna hitam pekat dan aroma wangi. Disajikan dalam gelas-gelas kecil yang biasa dipakai untuk menghidangkan air zamzam. Teh ditaburi gula putih. Takaran gula memenuhi setengah dari badan gelas. Bisa dibayangkan alangkah manisnya minuman choi.

Warga setempat mempersembahkan hidangan dengan ikhlas. Mereka tak berharap imbalan. Mereka hanya ingin mendapat kebaikan dari pahala amal salih. Mereka mempersembahkan jamuan untuk para zuwar sebagai tamu-tamu dari Imam Husein. Bahagia hati mereka saat hidangan dinikmati para zuwar.

bernaung dari sengatan matahari (dokumen pribadi)
bernaung dari sengatan matahari (dokumen pribadi)

Tenda-tenda besar pun didirikan dengan tujuan yang sama. Para zuwar dapat beristirahat melepas lelah dengan leluasa. Di sekitar tenda digelar karpet-karpet yang menyediakan pelayanan pijat. Para zuwar yang kelelahan dilayani dengan ramah dengan kata-kata yang membesarkan hati. "Wahai akhi, Imam yang akan mengobati. Menghilangkan kelelahan kaki-kaki kalian". Dan biasanya para zuwar dapat lari dengan kencang setelah itu.

Selain pelayanan pijat, ada pula yang memberi layanan menjahit. Para zuwar yang mendapati baju atau celanan mereka robek dan perlu perbaikan merapat di tempat ini. Tersedia baju cadangan yang dapat dipinjam, dikenakan sementara baju diperbaiki. Para zuwar yang membawa kereta dorong, atau roda portable pembawa tas dan koper, dapat melakukan hal yang sama. Bila perangkat perjalanan mereka perlu perbaikan, tersedia penyedia jasa perbaikan. (bersambung)   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun