Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Perjalanan Cinta Bernama Arbain Walk 2

27 Oktober 2023   16:31 Diperbarui: 27 Oktober 2023   16:35 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Merah putih berkibar di antara peziarah (dokumen pribadi)

Perjalanan sengaja kami atur di sore hari mengingat musim panas yang sedang berlangsung. Suhu Kota Najaf berkisar antara 40 hingga 46 derajat Celcius. Jauh di atas rata-rata suhu Kota Bandung, tanah kelahiran saya, yang berhawa sejuk. Udara panas mulai terasa pada pagi, siang dan malam hari. Sepanjang hari kami berada dalam keadaan gerah. Saat malam kami pilih untuk berjalan agar terhindar dari sengatan matahari yang cukup ganas. Sengatan yang dapat mendatangkan rasa pening di kepala.

Dengan berbaris kami memasuki ruas jalan yang menjadi lintasan para peziarah. Atribut para peziarah seragam, mengenakan pakaian berkelir hitam. Karenanya, saat bergabung di lintasan ini kita serasa nyemplung ke aliran air berwarna hitam. Ke dalam sungai dengan kelir air yang kelam sebagaimana galibnya sungai di perkotaan kita.  Adapun sebagai pembeda, selembar kacu merah putih kami kenakan di dada. Kain identitas yang dengan segera menyatukan kembali seandainya barisan tercerai berai.

Para peziarah datang dengan semangat membara. Berjalan dengan langkah tegap dan hati yang dipenuhi rasa cinta. Kepada siapa lagi rasa cinta itu berlabuh selain kepada Imam Husein yang bersemayam nun jauh di sana. Di kota Karbala yang menjadi arah tujuan perjalanan. Beragam suara terdengar dilantunkan para peziarah.

Gema Shalawat kerap terdengar bersahutan dengan pekik kerinduan kepada Imam Husein, Ya aba Abillah, wahai ayah Abdillah. Di tepi jalan perangkat pengeras suara berdentum menyiarkan musik suara hati tentang kerinduan, rasa nestapa, penyesalan atau pembacaaan narasi disela tangisan. Bahasa cinta demikian universal. Para peziarah dengan latar belakang geografis yang berlainan, dengan bahasa ibu yang berbeda, larut dalam suasana sedih yang sama.

Suasana  penuh hiruk pikuk, demikian sesak dan padat. Dalam barisan maha panjang peziarah terlihat pasangan-pasangan suami istri beserta keluarga melangkah bersama. Mendorong kereta berisi bayi yang terlelap dan tas-tas bawaan mereka. Perangai mereka riang. Tak terlihat beban berat perjalanan yang mesti ditempuh. Tak tampak rasa payah meski telah puluhan kilo meter melangkahkan kaki.

Merah putih berkibar di antara peziarah (dokumen pribadi)
Merah putih berkibar di antara peziarah (dokumen pribadi)

Seorang wanita muda menggandeng seorang ibu. Langkah kaki keduanya seirama. Tak berjalan dengan cepat, tidak pula lebih lambat dari yang lain. Sambil berjalan, keduanya berbincang. Sesekali sang wanita muda berujar, Ya Allah, Ya Allah, Ya Allah. Inilah ungkapan saat mereka ingin meminta jalan kepada orang lain yang dirasa menghalangi jalan mereka.

Anak-anak, para remaja, dan kaum muda lebih banyak lagi. Mereka berjalan dengan langkah kaki yang terlihat ringan. Berjalan secara berjamaah atau kelompok-kelompok kecil. Saat melihat ke arah kami, mereka bertanya, China?, Afghan?, Malaysia? Mereka bertanya dari mana kami berasal. Dan anggukan kepala serta senyuman ramah seketika mereka lakukan saat kami menjawab, Andunuzi. Kata ini berarti Indonesia dalam pelafalan bahasa setempat.

"Bazar" Makanan Gratis

Kegiatan berjalan kaki secara kolosal, dengan jarak puluhan kilo meter mungkin tak sering kita saksikan. Tak banyak pula kegiatan berskala global yang diikuti oleh jutaan peserta. Kegiatan Arbain Walk yang kami ikuti mungkin satu diantara peristiwa langka itu. Hal ini yang menjadi nilai lebih yang menumbuhkan rasa bangga serta rasa syukur yang tak terhingga. Tak hanya itu, kegiatan ini masih menyimpan sederet keistimewaan dan keunikan.

Satu keistimewaan diantaranya adalah rasa persaudaraan diantara para peziarah dan warga kota-kota yang dilewati. Tak tampak sikap dan perilaku yang menonjolkan ego atau sikap mementingkan diri sendiri. Tergambar dari perilaku saling memberi jalan, memberi keleluasaan bergerak antar peziarah yang disebut zuwar dalam bahasa setempat. Para zuwar yang berjalan perlahan menempatkan diri dalam sisi kiri. Sementara yang masih kuat berjalan lebih cepat berjalan di sisi kanan. Tak ada tali pemisah diantara keduanya, hanya perasaan saling mendahulukan yang jadi garis pemisah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun