Gedung di kejauhan itu bermandi cahaya. Sinar lampu ribuan watt yang tersebar di setiap sisi menjadikannya sumber cahaya terang. Di kegelapan langit dini hari jalan bebas hambatan Prof. Sedyatmo, sungguh gedung itu adalah sebuah keadaan kontras yang nyata dengan keadaan sekelilingnya, gelap dan terang.
Tak berapa lama, kami tiba di gedung terang itu. Inilah terminal keberangkatan tujuan luar negeri Pelabuhan Udara Soekarno-Hatta. Saya beserta enam belas rekan berencana terbang menuju Irak dan Iran, dua negeri di kawasan Timur Tengah.
Tepat pukul 09.05 pesawat milik maskapai Qatar Airways terbang. Pesawat  berbadan lebar itu mengudara membawa kami. Saya beserta rekan serombongan menduduki bagian tengah kabin pesawat. Kami menikmati perjalanan dengan hati berbunga-bunga. Kami merasakan pelayanan prima dari kru pesawat yang senantiasa tersenyum dan bertutur kata lembut.
Setelah mengudara hampir delapan jam, pesawat mendarat di Hamad International Airport di Kota Doha, Qatar. Kami transit selama kurang lebih tiga jam, menunggu jadwal keberangkatan pesawat berikutnya, Flysepehran, tujuan Kota Najaf, Irak.
Tak membuang kesempatan, saya dan anggota rombongan yang lain, berhamburan menuju tiap sisi bandara yang maha luas dan megah. Saya singgah sejenak di tenda-tenda unik taman dalam ruangan yang megah dan modern. Tempat yang disediakan bagi calon penumpang seperti kami. Sejenak saya rebahan, meluruskan punggung yang sebelumnya terpaku di kursi pesawat.
Langkah kaki selanjutnya saya ayun menuju sisi di bagian atas yang melingkar seputar taman. Ruang tunggu yang nyaman dengan kursi-kursi besi yang dilengkapi colokan charger HP menjadi tempat paforit berikutnya. Kami berlama-lama duduk di sana. Memanfaatkan fasilitas wifi yang tersedia untuk berkirim kabar kepada keluaraga. Dan tak lupa, memperbaharui status di media sosial.
Tak terasa jadwal terbang pesawat pun hampir tiba. Kami berjalan dengan langkah tergesa menuju ruang tunggu di pintu keberangkatan. Kemegahan bandar udara negeri yang kaya minyak ini pun kami potret. Pandangan kami tak henti-hentinya merasa takjub pada setiap sisi ruangan seiring langkah kaki.
Saya menikmati suasana sejuk saat melintas di dinding tinggi yang dialiri air yang jernih. Melintas di depannya serasa berjalan di keriuhan dan kesejukan air terjun di kaki gunung. Toko-toko yang menjual coklat, kurma, tas, sampai gerai kendaraan mewah merek-merek kesohor bertebaran, berlomba merebut perhatian.
Dan serangkaian kereta listrik indoor hilir mudik membawa penumpang. Kami pun memasuki kabin kereta yang akan membawa "berkeliling" melintasi mega bandara ini. Pemberhentian kereta ada sisi di ujung bandara yang tak jauh dari pintu-pintu keberangkatan pesawat.
Nyaris disuntik vaksin
Sekitar pukul 16.15 waktu Najaf kami tiba di bandar udara Kota Najaf, Irak. Suhu udara yang terasa panas segera menyergap begitu kami turun dari tangga pesawat. Bus-bus besar dengan kursi sedikit telah menunggu. Kendaraan yang akan membawa penumpang pesawat menuju ruang pemeriksaan imigrasi.
Petugas bandara mempersilakan penumpang yang baru mendarat untuk berbaris di jalur-jalur pemeriksaan identitas pelaku perjalanan. Namun, tidak demikian yang terjadi pada kami. Â Begitu mengetahui asal keberangkatan kami dari Indonesia, dua petugas keamanan "menggiring" kami memasuki satu ruangan khusus. Ruangan yang belakangan kami sadari, ditempati para dokter dan petugas kesehatan.
Salah seorang petugas mengutarakan alasan menempatkan kami di tempat ini. Sehubungan dengan maraknya kasus penyakit folio yang menyerang dunia, langkah itu mereka tempuh. Satu langkah yang diberlakukan tak lama sebelum kedatangan kami. "Di negeri Irak kalian harus siap dengan hal-hal yang di luar dugaan", seloroh seorang rekan senior saat melepas keberangkatan kami. Dan hal tak terduga itu baru saja kami temui.
Dalam peta persebaran virus yang mematikan itu, negara kita berada dalam zona merah. Maka, tak ada hal meringankan yang dapat membebaskan kami dari "vonis" kewajiban disuntik atau, bila menolak, kami mesti kembali ke tanah air, Indonesia.Â
Setelah melewati perundingan yang alot, vonis itu urung kami terima. Ketua rombongan sebelumnya mendapat "bocoran" dari kolega yang bermukim di sini untuk berjaga-jaga seandainya hal ini terjadi. Maka, kami pun mengantongi dokumen yang menyatakan bila kami telah mendapat vaksin folio tak lama sebelum perjalanan kami berkunjung ke Irak, negeri yang terkenal dengan Cerita 1001 Malam. Walhasil,  kami pun dapat tersenyum lebar.
Wisata Ziarah
Perjalanan yang kami tempuh menuju negeri yang kerap diamuk perang ini mungkin terasa aneh. Berwisata ke sini tidak sepopuler perjalanan ke negeri, sekadar menyebut, Uni Emirat Arab dengan ikonnya, Dubai, Mesir, atau Turki. Kalah jauh dengan minat pelaku wisata menuju negeri di Benua Asia lainnya semisal, Jepang, Singapura, atau Korea.
Perjalanan kami tak lain bertujuan untuk ibadah. Kami bermaksud berziarah ke tempat-tempat yang menyimpan sejarah dalam persebaran dan perkembangan ajaran Islam. Ziarah secara sederhana mengandung arti mengunjungi makam. Tak sebatas makam orang tua atau sesepuh dan kerabat, namun makam siapa pun yang kita anggap sebagai seorang tokoh. Sebagian orang menyebut ibadah haji dan umroh adalah perjalanan ziarah. Mengunjungi makam nabi dan tokoh-tokoh lain yang memiliki peran besar dalam perkembangan agama Islam.
Adapun tujuan ziarah kami ada di Kota Najaf. Di sini terdapat satu tempat bernama Padang Karbala. Bagi umumnya umat Islam yang bermukim di kawasan Irak, Iran, Lebanon dan negeri-negeri di sekitarnya, tempat ini begitu dimuliakan. Menjadi tempat suci yang mendapat keutamaan dengan dimakamkannya seorang cucu Rasulallah, yaitu Husein bin Ali bin Abi Thalib, yang dikenal dengan sapaan Imam Husein.
Sejarah mencatat, pada zaman kekhalifahan Yazid bin Muawiyah, umat Islam mengalami satu keadaan yang buruk. Penguasa berlaku semena-mena terhadap rakyat. Mereka menjalankan pola hidup mewah. Berpoya-poya menghamburkan kekayaan negara. Sementara, rakyat kebanyakan hidup dalam kesengsaraan.
Tak hanya kebiasaan buruk hidup bermewah-mewah, penyelenggara negara telah jauh menyeleweng dari ajaran Islam yang dibawa nabi. Ajaran menerapkan akhlak yang baik dalam kehidupan bermasyarakat telah jauh diselewengkan. Tak pelak, umat Islam mengalami kemunduran dalam segala sisi dan sendi kehidupan.
Imam Husein tampil ke depan. Beliau mengingatkan penguasa untuk segera kembali kepada ajaran Islam yang benar. Ajaran Islam sejati yang dibawa kakek, ibu dan ayahnya. Peringatan ini tak dihiraukan oleh Yazid dan rezimnya. Malah, sebagai gantinya, mereka meminta Imam Husein untuk berbaiat kepada Khalifah Yazid. Mengucapkan sumpah setia dan kesediaan untuk taat dan patuh kepada pemimpin korup itu.
Tentu Imam Husein menolak. Beliau tak selembar rambut pun setuju pada permintaan penguasa. Imam Husein menganggap bila penguasa tak bisa lagi diperingatkan. Beliau berketetapan hati untuk meluruskan segala penyimpangan dengan segenap daya dan kemampuan. Bahkan bila terpaksa, bertikai demi membela kesejatian ajaran yang dibawa kakeknya.Â
Maka berangkatlah Imam Husein disertai adik, anak, menantu, cucu dan pamannya. Ikut bergabung bersamanya para pengikut yang setia. Jumlah mereka sekitar tujuh puluh orang, berangkat menemui rezim Yazid. Namun di tengah perjalanan pasukan Yazid menggiring mereka ke satu tempat bernama Padang Karbala. Di tempat ini telah bersiaga tak kurang dari tujuh ribu pasukan Yazid. Pasukan berkuda dengan atribut berperang yang lengkap.
Imam Husein bertolak dengan misi damai. Tak ada keinginan untuk memerangi siapa pun. Imam Husein hendak membuka dialog, menyampaikan keinginan untuk memperingatkan bila penguasa telah jauh melangkah dari nilai-nilai kebenaran. Imam Husein hendak menyampaikan nasihat kebenaran sesuai dengan pesan yang tertulis dalam ayat suci Al Quran, tawasaw bil haq wa tawasaw bil shabri. Saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.
Gayung tidak bersambut di Padang Karbala. Ajakan Imam Husein untuk berunding dibalas pernyataan penuh kebencian. Uluran tangan penuh rasa persaudaraan disambut hunusan pedang. Maka pertikaian jadi satu kepastian. Pertempuran dengan komposisi pasukan yang tidak seimbang pun terjadi. Pertempuran yang lebih tepat disebut pembantaian.
Satu demi satu anggota rombongan Imam Husein maju menuju gelanggang perang. Satu demi satu syahid, gugur menghadapi pasukan Yazid yang bengis. Tak puas dengan hanya mengambil nyawa, pasukan yang sama menutup akses menuju sungai Furat, tak jauh dari gelanggang perang. Keluarga dan pengikut Imam bertarung dengan tenggorokan yang kering, dengan rasa haus yang mencekik leher.
Imam Husein maju ke tengah gelanggang. Putra pahlawan Perang Khaibar, Ali bin Abi Thalib, itu pun mengerahkan segala daya dan kemampuan yang dimilikinya. Namun, pasukan musuh yang licik memanahi raga suci itu dengan ratusan anak panah. Satu demi satu anak panah beracun menancap, mengeluarkan darah segar. Imam Husein syahid berhadapan dengan sejumlah pasukan yang kalap. Pada detik-detik terakhir, kibasan pedang Shimir mengenai lehernya. Imam Husein syahid di malam pertempuran itu.
Peristiwa yang mengoyak perasaan itu terjadi pada hari ke sepuluh di bulan Muharam, bulan pertama dalam kalender Hijriah. Hari gugurnya keturunan nabi ini dikenal sebagai hari Asyuro. Pada hari ini umat Islam yang mencintai keluarga nabi di seluruh penjuru dunia berduka. Memperingati hari duka cita dengan beragam kegiatan.
Ungkapan duka yang diekspresikan dengan media drama atau pementasan dilangsungkan. Riwayat kehidupan Imam yang dikenal dengan maqtal dibacakan. Doa-doa ziarah dihantarkan. Pada hari Asyuro umat Islam meratapi gugurnya Imam Husein dan pada saat yang sama mengutuk kebengisan yang dengan terang benderang dilakukan oleh penguasa ketika itu, Yazid dan rezimnya.
Puncak peringatan peristiwa yang memilukan itu berlangsung pada hari keempat puluh setelah kesyahidan sang Imam. Hari yang dikenal sebagai Arbain, hari keempat puluh. Di hari ini jutaan peziarah datang menuju makam Imam Husein di Kota Karbala. Berziarah, menghaturkan doa tulus dan salam setia. Mendoakan kebaikan baginya dan menghaturkan empati yang dalam atas peristiwa berdarah yang dialami zuriyah, keturunan nabi berabad-abad yang telah lalu.
Uniknya, perjalanan menuju makam Imam Husein ditempuh dengan berjalan kaki. Para peziarah datang menuju kota Najaf yang berjarak 160 Km di Selatan Baghdad, ibu kota Irak. Dari kota ini, para peziarah yang disebut zuwar berjalan kaki menuju Padang Karbala. Mereka berjalan bersama anggota keluarga yang jumlahnya beragam. Banyak pula yang datang dengan berombongan. Jarak yang mesti ditempuh tak kurang dari 90 Km. (bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H