Halaman sekolah kami, SMA Plus Muthahhari Bandung, terlihat semarak. Pagi itu, Sabtu 3 Juni 2023, para murid berdatangan. Satu demi satu memasuki gerbang yang tak berpintu.Â
Mereka mengenakan busana yang lain dari biasa. Para siswa mengenakan busana formal, setelan jas dan kemeja rapi. Sedang para siswi mengenakan baju gaya kebaya yang tak kalah rapi dan modis.
Di halaman yang lega itu mereka bergaya. Di depan kamera mereka berpose. Senyuman bahagia mengembang. Bersanding dengan ayah dan ibu. Mengabadikan momen yang hanya dialami sekali selama tiga tahun waktu belajar.
Begitulah suasana halaman sekolah kami menjelang acara syukuran perpisahan. Hari itu kami meluluskan tiga puluh empat murid.Â
Para murid yang, note bene, menjalani pembelajaran dalam kecamuk masa pandemi Covid-19. Karena itu, dua pertiga masa sekolah dijalani dalam suasana belajar jarak jauh, belajar secara daring dari rumah.
Tepat pukul delapan acara dimulai. Busana mereka kini dilengkapi toga hitam dengan aksesori berwarna ungu. Mereka berbaris dengan rapi. Berjalan menuju Aula Jalaluddin Rakhmat yang terletak di depan gedung sekolah.Â
Satu demi satu memasuki pintu aula. Mereka disambut rekaman suara berisi doa dari pendiri sekolah yang namanya dilekatkan dalam gedung aula.
Di ruangan yang lega mereka duduk sejenak. Menikmati alunan musik pembuka dan sapaan selamat datang dari pembawa acara. Dan tak lupa, melempar pandangan pada sekeliling ruangan yang dihiasi dekorasi megah.
Satu demi satu nama mereka disebut, lengkap dengan nama ayah dan ibu. Mereka melangkah dengan tegap ke atas panggung. Senyum mengembang sebagai ungkapan perasaan syukur dari dasar sanubari.
Di atas panggung pita yang melambai di penutup kepala dipindah letaknya oleh pimpinan yayasan penyelenggara sekolah. Disodori map ijazah serta dikalungi medali.Â
Mereka melangkah menuju sisi panggung yang lain. Berdiri, Â berbaris memandang hadirin. Para guru dan orang tua menyaksikan dengan rasa bangga.
Pidato 7 Bahasa
Prosesi wisuda ditutup dengan pengucapan janji. Para alumni membacakan sepuluh poin dalam janji itu.Â
Dalam janji itu mereka antara lain berikrar menjadikan kecintaan kepada Allah dan Rasulnya sebagai pedoman hidup; menjadikan kecintaan kepada kaum mustad afin sebagai jalan perkhidmatan; menjadikan kecintaan kepada ilmu sebagai jalan dakwah.
Para wisudawan kembali menempati tempa duduk. Mereka bersiap menyaksikan pidato yang akan disampaikan oleh tujuh rekan mereka. Masing-masing dari mereka akan berbicara dalam bahasa yang berbeda.
Tampil sebagai pembawa pidato yang pertama siswa bernama Al Fikri Muthahhari. Dengan Bahasa Arab yang baik ia mengungkapkan kesan-kesannya selama bersekolah di SMA Plus Muthahhari.Â
Tak lupa ia berterima kasih pada para asatid, para ustad atau guru yang telah mendidik ia dan rekan selama tiga tahun belajar.
Selanjutnya tampil di fodium Sajadali Delazadi Rakhmat. Ia menambah lengkap paparan pembicara sebelumnya, Fikri.Â
Dalam Bahasa Inggris yang fasih ia mengutarakan kesan-kesannya. It goes without say, katanya, setiap alumni mengutarakan kesan yang bercampur aduk tentang sekolahnya.Â
Kesempatan perpisahan seperti wisuda mereka mengungkapkan kecintaan yang tulus pada almamaternya. Setiap alumni akan merasa berat untuk berpisah. Namun, it goes without say, bahwa hidup terus berlanjut.
Belum surut rasa haru mendengar pembicaraan Sajad, tampil pembicara berikutnya Ali Ausath. Bertutur dengan Bahasa Jepang yang lancar ia mengungkapkan isi hatinya.Â
Ia berkali-kali mengucap kata "kokoro", yang memilki arti hati dalam bahasa kita. Hatinya merasa berat meninggalkan tempat di mana ia merasa menemukan tempat untuk berekspresi. Memunculkan potensi yang ia miliki dengan ruang yang cukup.
Ali menuruni fodium. Langkahnya disambung oleh Zunaira. Siswi jurusan Ilmu Sosial ini bertutur dalam Bahasa Parsi, bahasa yang digunakan oleh salah satunya warga negara Iran. Ia memulai pembicaraannya dengan mengucap "Be nome hudo" yang memilki makna yang sama dengan "bismillah", ungkapan berbahasa Arab yang telah akrab di telinga.Â
Zunaira tak mampu menahan keharuan saat mengucap terima kasih, yang ia tujukan kepada almamaternya. Kepada para guru, karyawan, dan teman-teman serta para adik kelasnya.
Dari daratan Asia, bahasa pengantar pidato beralih ke Benua Biru, Eropa. Ananda Jilwah menyampaikan orasinya dalam Bahasa Jerman. Senada dengan para pembicara yang lebih awal tampil, ia menyampaikan apresiasinya pada tempat ia belajar.Â
Datang dari tanah Makassar, ia belajar dengan penuh kesungguhan. SMA Muthahhari adalah jelmaan tempat yang ia cari. Ia merasakan pengalaman  belajar yang khas, yang mungkin tak akan didapat di tempat lain.
Inayah menyambung ungkapan teman karibnya, Jilwah. Berbicara dengan logat Perancis yang mendekati sempurna, ia pun merasa bila SMA Plus Muthahhari ibarat oase yang ia cari.Â
Berlatar pendidikan dunia pesantren dalam jenjang sebelumnya, ia menemukan betapa program pendidikan keagamaan yang diberikan demikian bermanfaat.Â
Berkesesuaian antara teori dan praktik dalam keseharian. Sekolah ini menyampaikan kedua hal itu, teori dan praktik, secara seimbang.
Menutup rangkaian pembicaraan, tampil ananda Salman. Bertutur dalam Bahasa Indonesia yang baik, ia mengungkapkan gejolak batinnya. Ia datang dalam acara wisuda ini dengan berpakaian rapi.Â
Mengenakan setelan jas, berdandan rapi, dan mengumbar senyuman manis. Satu hal yang berkeb alikan dengan acara yang ia hadiri. Acara perpisahan sekolah, yang tentu mengundang tangis dan air mata.
Acara wisuda dan syukuran perpisahan di SMA Plus Muthahhari senantiasa menyodorkan mata acara ini. Pidato dalam 7 bahasa yang disampaikan para siswa senantiasa ditunggu.Â
Inilah acara khas wisuda yang boleh jadi tak banyak diadakan, untuk tidak mengatakannya satu-satunya, di sekolah setingkat SMA.
Pidato dalam 7 bahasa bukan salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia. Namun kami merasa telah menciptakan keajaiban tersendiri.Â
Selalu kami merasa bila mereka bertutur bahasa-bahasa itu jauh melampaui ekspektasi kami. Dalam bertutur, mereka mengembangkan potensinya dengan luar biasa.
Bahasa Arab, Inggris, Jepang, Parsi, Jerman dan Perancis adalah bahasa-bahasa yang kami selenggarakan sebagai pelajaran ekstra kurikuler. Para murid mengikutinya sejak dari kelas X. Mereka diberi kebebasan untuk memilih dan berganti pilihan pada setiap akhir semester.
Saat acara wisuda, mereka diperkenankan untuk mengungkapkan kata-kata terakhirnya dalam bahasa-bahasa tersebut. Bahasa boleh berbeda.Â
Budaya penutur bahas pun tentu berlainan. Namun ungkapan perasaan menghadapi peristiwa perpisahan memilki benang merah yang sama.Â
Dalam keragaman bahasa, mereka mengungkapkan rasa sedihnya pada sekolah; Terima kasihnya pada tempat menuntut ilmu dan belajar tentang kehidupan; juga tentang indahnya jalinan persahabatan dan pertemanan.Â
Wisuda bukan langkah terakhir. Ia awal untuk menapaki babak baru kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H