Belum surut rasa haru mendengar pembicaraan Sajad, tampil pembicara berikutnya Ali Ausath. Bertutur dengan Bahasa Jepang yang lancar ia mengungkapkan isi hatinya.Â
Ia berkali-kali mengucap kata "kokoro", yang memilki arti hati dalam bahasa kita. Hatinya merasa berat meninggalkan tempat di mana ia merasa menemukan tempat untuk berekspresi. Memunculkan potensi yang ia miliki dengan ruang yang cukup.
Ali menuruni fodium. Langkahnya disambung oleh Zunaira. Siswi jurusan Ilmu Sosial ini bertutur dalam Bahasa Parsi, bahasa yang digunakan oleh salah satunya warga negara Iran. Ia memulai pembicaraannya dengan mengucap "Be nome hudo" yang memilki makna yang sama dengan "bismillah", ungkapan berbahasa Arab yang telah akrab di telinga.Â
Zunaira tak mampu menahan keharuan saat mengucap terima kasih, yang ia tujukan kepada almamaternya. Kepada para guru, karyawan, dan teman-teman serta para adik kelasnya.
Dari daratan Asia, bahasa pengantar pidato beralih ke Benua Biru, Eropa. Ananda Jilwah menyampaikan orasinya dalam Bahasa Jerman. Senada dengan para pembicara yang lebih awal tampil, ia menyampaikan apresiasinya pada tempat ia belajar.Â
Datang dari tanah Makassar, ia belajar dengan penuh kesungguhan. SMA Muthahhari adalah jelmaan tempat yang ia cari. Ia merasakan pengalaman  belajar yang khas, yang mungkin tak akan didapat di tempat lain.
Inayah menyambung ungkapan teman karibnya, Jilwah. Berbicara dengan logat Perancis yang mendekati sempurna, ia pun merasa bila SMA Plus Muthahhari ibarat oase yang ia cari.Â
Berlatar pendidikan dunia pesantren dalam jenjang sebelumnya, ia menemukan betapa program pendidikan keagamaan yang diberikan demikian bermanfaat.Â
Berkesesuaian antara teori dan praktik dalam keseharian. Sekolah ini menyampaikan kedua hal itu, teori dan praktik, secara seimbang.
Menutup rangkaian pembicaraan, tampil ananda Salman. Bertutur dalam Bahasa Indonesia yang baik, ia mengungkapkan gejolak batinnya. Ia datang dalam acara wisuda ini dengan berpakaian rapi.Â