Billy mengangguk. Perlahan emosinya mereda. Ia menuruti perkataannku. Tangannya menjabat tangan Fahlevi yang kusodorkan. Keduanya bersalaman.
Kuraih telepon genggam dari saku kemeja. Kuhubungi kedua orang tua siswa yang berseteru. Hana yang pertama kuhubungi. Ia menjawab menjawab teleponku,
"Pasti tentang Billy" katanya.
Aku mengiyakan dan menjelaskan peritiwa yang baru saja terjadi. Hana sepenuhnya memahami. Kejadian serupa ini terjadi di sekolah-sekolah Billy sebelumnya. Hanna memohon maaf atas ulah anaknya. Ia memohon pengertian kami atas kondisi istimewa yang melekat pada diri Billy.
Aku memahami kerisauan yang tersirat dari kata-kata Hana. Aku katakan bila setiap anak di sekolah ini adalah istimewa. Â Kami memperlakukan setiap anak sebagai anak kami sendiri. Karena kami adalah perpanjangan tangan kedua orang tua mereka di sekolah. Aku menganggap Billy sebagai anak sendiri.
Hana sesaat terdiam. Samar terdengar ia terisak. Namun, sesaat kemudian ia tertawa kecil. Aku membawanya bernostalgia. Mengenang kembali peristiwa sore di Pool Bis Antarpulau itu. Berkisah tentang masa lalu kami. Tentang perpisahan yang terlalu dini. Aku mendapat jawaban tentang surat-suratku yang tak pernah berbalas itu.