Sejak sore itu Hana menghilang. Ia tak berkirim surat sebagaimana perkataannya. Puluhan surat yang kukirim tak satu pun yang berbalas. Bis bernama Antar Lintas Sumatera itu terlalu dini memisahkan kami.
SIANG yang cukup panas di sekolah kami. Udara Bandung yang sejuk sejak beberapa hari ini berganti cuaca panas. Beberapa guru duduk di lobi sekolah. Mencoba mendinginkan badan, mencari kesejukan di tempat yang terbilang adem ini.
Tiba-tiba terdengar teriakan dari arah tangga. Billy berlari dengat cepat. Ia mengejar Fahlevi yang juga berlari di depannya. Tangan Billy menggenggam gunting, mengarah-arahkannya ke segala arah.
"Bah, berhenti kau," teriak Billy.
Fahlevi berlari ke arah lapangan upacara. Dalam kepanikan, ia mencari tempat aman dari kejaran Billy. Beberapa guru membantuku melerai. Merayu Billy agar menghentikan aksinya. Billy belum mau menuruti permintaan kami. Ia tetap memegang gagang gunting kecil yang biasa terdapat dalam kotak P3K itu.
"Berhenti Billy. Berikan gunting itu!"
"Tidak mau!"
"Dia menggangguku terus!" Â
Emosi Billy masih meluap-luap. Napasnya tersengal-sengal. Anak istimewa ini seperti hendak melumat teman yang dikejarnya bulat-bulat. Aku tak memberinya ruang gerak yang leluasa. Akhirnya, dibantu dua orang petugas keamanan, kami dapat menguasai keadaan.
"Kemari, Billy"
"Semua baik-baik saja. Temanmu tak berniat jahat. Ia hanya ingin berteman"