Binar mata itu untuk kesekian kali menghunjam kalbu. Terpancar dari paras indah milik Lany. Ia rekan kerjaku yang hangat. Ia Ibarat matahari di ruangan ini. Ruang kerja yang dipenuhi berkas. Beban kerja yang tak berkesudahan.
Antara harap dan cemas saat pendar mata itu tertuju ke arahku. Kuingin sang mentari tak mengalihkan sinarnya pada yang lain. Kuingin hangatnya membaluri tubuhku sepanjang hari.
Hari berganti hari. Bulan pun berganti. Perasaan sukaku pada si pemilik pendar mata hangat itu makin nyata. Â Aku tak bisa membohongi perasaan. Aku menaruh harapan besar pada Lany.
"Bersediakah dik Lany untuk jadi calon pasangan hidup?" pintaku.
Lany tak menjawab. Ia duduk dengan tenang di depanku. Tangannya memainkan kertas tissue. Melipat-lipat kertas penyeka itu menjadi bermacam bentuk. Setelah itu ia meraih gelas lemon squash miliknya. Meneguknya seteguk kecil.
Tak banyak perbincangan kami di teras Caf Cisangkuy sore itu. Lany seakan tahu bila diamnya telah cukup sebagai jawaban. Aku merasa bila Lany menyambut cinta ini. Cinta yang sekian lama memenuhi setiap inci hati.
Berbulan aku menjalin tali kasih dengan rekan kerjaku. Diantara kami seolah tak ada perbedaan. Satu kata, satu hati dalam cinta. Aku merasa telah menemukan calon istri. Wanita yang kelak menemaniku dalam suka dan duka berumah tangga. Menjadi ibu bagi anak-anak kami.
"Ibu, Ayah, aku telah dipertemukan Allah dengan calon pendamping hidup"
"Namanya Lany, teman satu kantor!"
Ibu menyambut dengan penuh suka. Aku membaca rasa penasaran yang besar dari ibu. Ibu seakan ingin menggali lebih banyak tentang bakal istriku. Ia ingin segera berjumpa dengan Lany. Sedangkan Ayah tak banyak berkata-kata. Seperti pembawaannya yang santai, Ayah menantangku untuk segera membawa si pemilik binar mata indah itu. Memperkenalkan Lany kepadanya.
Pagi itu kami bersiap untuk pergi. Minibus milik ayah telah dipersiapkannya sedari sore. Bingkisan aneka buah, pisang bolen, batagor dan beragam keripik oleh-oleh Bandung pun telah tersusun di baris belakang mobil. Ibu dan Ayah berdandan rapi. Mengenakan busana seperti yang biasa dipakai saat kondangan.
Perjalanan Bandung -- Sukabumi pun kami mulai jalani. Aku duduk di kursi pengemudi. Di sampingku duduk Amira, adik semata wayangku. Sedang Ayah dan ibu di baris kedua. Rute antarkota itu kurasakan sedikit lama. Bukan karena terjebak kemacetan di jalan, melainkan karena hatiku tak sabar untuk mempertemukan sang juwita pada kedua orang tuaku.
"Baiklah kita ambil tanggal 21 di bulan September", kata ibunda Lany menyudahi rapat kecil siang itu. Hari baik yang telah disepakati kedua keluarga. Hari dilangsungkannya pernikahan kami. Saat itu juga telah ditentukan tempat berikut konsep pernikahan yang akan dilangsungkan. Satu langkah telah diambil, gumamku. Kami bertolak kembali ke Bandung. Temaram lampu jalan tersapu oleh sinar terang yang memancar dari pandanganku. Terpancar dari hatiku yang teramat bungah.
Persiapan jelang pernikahan kami jalani. Aku dan Lany telah usai mengumpulkan aneka hal bekal hantaran pernikahan. Ibu mengemasnya dengan indah. Ia menyambangi gerai-gerai penyedia jasa hantaran yang bertebaran di kota kami.
Hari pernikahan semakin dekat. Ibu tak henti melihat dan melihat kembali daftar nama tetangga, kenalan dan kerabat yang akan diundang. Ayah mempersiapkan akomodasi dengan cermat. Ayah telah memesan dua bis yang bakal mengantar tetamu undangan nanti. Keduanya dilanda euphoria, tak sabar ingin segera mengantarku. Anak sulungnya menjemput masa depan. Memulai hidup yang baru.
"Aa, bisa kita bicara?", begitu pesan WA dari Lany. Aku tak merasakan perasaan yang aneh. Pesan Lany selalu begitu. Pesan yang menyiratkan keinginan agar aku memberi perhatian penuh kepadanya. Aku pun menyambut permintaannya dengan riang.
Bagai tersambar petir di siang bolong, aku kaget mendengar gadis itu bercerita. Ia ternyata menyimpan misteri yang tak mampu kuraba. Misteri berwujud masa lalu yang masih menawannya. Ia tak bisa lepas, lari menjauh darinya. Lany pun menyerah kalah. Ia tak kuasa berdamai dengan masa lalu itu. Satu hal yang ia coba jalani selama ini.
Aku tak ingin larut ke dalamnya. Aku tak ingin jadi bagian dari ketertawanan itu. Â Tapi aku tak bisa melepas Lany. Hatiku berat untuk mengoyak cinta yang coba kubangun selama ini. Aku terombang ambing perasaan. Aku dihimpit beban yang maha berat.
Berat rasanya menyampaikan hal ini pada kedua orang tuaku. Pernikahan kami yang tinggal menghitung hari menemui hambatan seperti ini. Aku mesti mengambil keputusan. Menunda menyampaikan hal ini hanya akan menjadi bom waktu yang akan meledak suatu saat nanti.
" Fakhri mohon maaf, Ibu, Ayah"
"Pernikahan itu batal"
"Lany bukan jodoh yang dikirimkan Tuhan buat Fakhri"
Meski berat, hal itu aku sampaikan pada kedua orang tuaku. Aku sampaikan perasaan bersalah telah membuat mereka terluka. Keduanya berusaha untuk menerima takdir yang berlaku pada anaknya ini. Ayah menguatkanku. Ia menghibur,  bila semua ini terjadi karena kehendak-Nya jua. Kita, manusia, mesti menerima suratan takdir. Menjalani rencana yang  Allah SWT susun.
Kupandangi paras ayu di layar HP. Sebentuk keindahan yang menjadi cahaya mata ini, berbulan lamanya. Perlahan, photo itu kuhapus. Selamat jalan binar mata indah. Kau tercipta bukan untuku.
Lamunanku melayang jauh. Menyinggahi saat-saat pertemuan kami. Aku termenung sesaat pada kenangan di Caf Cisangkuy senja itu. Saat itu Lany tak memberiku anggukan. Mungkin tak akan pernah untuk selamanya. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H