Satria FU 150 ia arahkan menuju gedung tinggi milik sebuah korporasi telekomunikasi. Ia melintas jalan tak terlalu lebar di pinggir gedung. Selanjutnya menuju jalan Gagak yang sedikit gelap. Suasana sepi menyelimuti malam. Rico melaju berteman deru suara motornya.Â
Jalan yang ia masuki baru di pertengahannya. Tanpa berpikir datangnya bahaya yang mungkin saja terjadi di jalan yang sepi, Rico terus melaju. Perasaanny bersih. Jiwa remajanya belum dikotori pikiran-pikiran yang menyeramkan semisal tindak kriminal. Ia melaju dengan harapan secepatnya sampai di pembaringan. Matanya terasa berat. Kantuk perlahan dirasakannya.
Dalam keadaan seperti itu, sekonyong-konyong berdiri dua orang di tengah jalan. Beberapa orang lainnya berjejer di pinggir jalan. Mereka sepertinya satu kawanan yang memiliki maksud jahat. Pemuda yang berdiri di tengah mengrahkan telunjuknya, menyuruh Rico berhenti. Yang satunya lagi tak kalah galak. Ia mengacung-acung besi seperti pedang ke arah Rico. Ia menakuti Rico agar menuruti perintah kawannya.Â
Menyadari bahaya yang dihadapi, Rico berupaya menghindar. Motor bebek ramping yang ia tunggangi, meliuk-liuk menghindari dua orang itu. Keduanya mampu ia lewati. Malang bagi Rico, seseorang dari barisan di pinggir jalan itu, mencuri-curi kesempatan untuk memburunya. Kayu pemukul bisbol di tangannya bergerak liar. Kayu keras itu bertubi mengenai punggung Rico. Remaja kita ambruk. Ia terkapar di jalan dalam keadaan pingsan.
Rico baru sadar keesokan harinya. Ia membuka mata saat berbaring di kamar perawatan intensif rumah sakit. Sejumlah alat terpasang di badan. Selang infus, selang pernapasan, dan seperangkat alat memonitor organ-organ tubuhnya. Kesadaran Rico belum sepenuhnya kembali. Namun ia merasakan sekujur tubuhnya remuk. Ia tak dapat bergerak. Tubuhnya lemas seperti ikan bandeng yang telah diangkat rangkaian durinya.Â
Hal yang buruk itu pun tak terhindarkan. Rico mengalami kelumpuhan. Tulang belakangnya patah. Rico memulai hari baru, yang jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Hari-hari yang ia lewati di pembaringan. Remaja kita tercerabut dari keindahan hidupnya di malam jahanam.
Berbulan-bulan Rico menjalani pengobatan. Sejumlah terapi ia lewati. Hingga sampailah ia pada keadaan membaik. Ia tak lagi lumpuh secara total. Kedua kaki telah dapat ia gerakan. Meski tergantung pada alat penopang saat berjalan, Rico begitu gembira karena telah dapat lepas dari kursi roda. Sebuah anugerah bagi kesungguhannya berlatih, menjalani terapi dengan tekun.Â
Tak ingin berkubang dalam kesedihan, Rico melanjutkan langkah. Selama perawatan yang memakan waktu dua tahun, Rico melewatkan masa sekolah formal. Ia kehilangan masa-masa duduk di bangku SMA. Sebagai gantinya, Rico mengikuti program pendidikan kesetaraan paket C. Ijazah yang didapat Rico setara tingkat SMA yang begitu diperlukan saat melanjutkan pendidikan atau melamar pekerjaan.Â
Cerita Rico memberi banyak arti. Menyegarkan kembali pesan luhur untuk pantang menyerah.Â
Terima kasih Rico telah memberi kami teladan. Â Â
  Â