Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Malam Jahanam

7 April 2022   15:04 Diperbarui: 7 April 2022   15:17 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wajah remaja itu telah kukenal baik. Setiap akhir pekan wajah tampannya mengisi layar HP ku. Bersama puluhan rekannya, ia "menyetor" photo dalam grup WA yang kami buat. Photo-photo yang menggambarkan kegiatan mereka belajar: mengerjakan tugas dari para tutor. Banyak pula photo berupa hasil kerja mereka.   

Masa pandemi Covid-19 yang berlangsung selama ini yang menyebabkan pertemuan virtual, lewat layar monitor kecil, itu lebih sering kami lakukan. Ketimbang pertemuan tatap muka yang berlangsung satu atau dua kali saja selama masa pembelajaran satu semester. Lewat layar itu, warga belajar menggantungkan harapan besar. Harapan akan pelaksanaan pembelajaran program pendidikan kesetaraan yang mereka ikuti.

Pendidikan ini ditujukan bagi warga negara yang ingin mengenyam pendidikan. Tanpa dibatasi usia, mereka diberi kesempatan untuk belajar dan mendapatkan ijazah di akhir kegiatan. Berbeda dengan sekolah biasa. Sekolah ini menyandang sebutan non formal. Sebab itu, murid-muridnya kami sebut  warga belajar. Mereka datang di hari Sabtu dan Minggu dan tidak mengenakan seragam sekolah. Para pengajarnya dipanggil dengan sebutan tutor.

Sang remaja, yang kukenal baik itu, datang pada pelaksanaan ujian akhir. Selama empat hari pelaksanaan ujian, ia selalu datang tepat waktu. Tak pernah terlambat. Letak tempat belajar kami, yang badan jalannya dijadikan pasar becek sehingga kerap dilanda kemacetan lalu lintas, tak jadi kendala.     

Sebut saja ia dengan nama Rico. Remaja yang belum genap dua puluh tahun itu menampakan semangat yang luar biasa. Rico memilih tempat duduk paling belakang. Sebuah tempat yang cukup lega dengan tambahan ruang di bagian belakang. Di sana ia menyimpan alat yang membantunya berjalan. Rangkaian pipa alumunium, berkaki empat yang dijadikan pegangan. 

Petaka Malam Minggu

Malam baru saja bergulir. Tirai malam yang dihiasi bintang serta cahaya bulan purnama belum lama terbentang. Udara Bandung yang sejuk semakin menambah indah sang malam. Siapa pun akan terpicu gairah untuk menikmati malam. Tak terkecuali remaja kita, Rico. Ia telah merancang sejumlah rencana untuk mengisi malam. Menjadi bagian dari keindahan malam Kota Kembang. Menjelma kunang-kunang yang terbang ke sana-ke mari di taman nan indah.

Rico bertolak dari rumahnya di wilayah timur Kota Bandung. Bermotor ia melaju bersama teman-teman karibnya. Mereka menuju area di seputar Gedung Sate. Di pinggiran lapangan luas tak jauh dari gedung itu Rico memarkir tunggangannya. Mereka duduk-duduk santai bergabung bersama komunitas. Layaknya remaja yang sedang mengembang keremajaannya, Rico menikmati betul suasana semacam ini.

Waktu berputar, membawa malam semakin larut. Usai mengisi malam dengan penuh canda dan tawa, Rico undur diri. Ia bermaksud untuk pulang. Dari Lapang Gasibu, lapangan luas itu, Rico memutar sedikit ke arah tugu Monumen Perjuangan. Di Pelataran tugu bambu runcing ini ia menikmati hidangan di warung tenda. Sepiring Seafood  ia nikmati dengan penutup juice jeruk yang segar. Selanjutnya ia tancap gas ke arah timur, menuju rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun