Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bising yang Berlarut

8 Desember 2021   13:54 Diperbarui: 8 Desember 2021   14:04 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bila didiamkan, lama-lama mereka menginjak kepala!"

Perckapan kecil yang menjurus pada percekcokan tak sekali terjadi antara aku dan istriku. Ia tak hanya menyuarakan kejengkelan dirinya. Ia juga menampung aspirasi para tetangga yang kerap bertemu dengannya. Mereka mendesak aku untuk bertindak. Memberi pemahaman kepada mereka.

Aku sebetulnya memiliki kegeraman yang sama pada para biduan tak jadi itu. Bukan karena nyanyian yang mereka bawakan tak sesuai selera. Bukan pula karena suara mereka yang pas-pasan. Aku geram karena mereka tak memiliki kepekaan pada perasaan tetangga. Mereka seolah berada di tengah hutan. Mengumbar suara seenaknya tanpa memandang para tetangga yang lebih dulu tinggal di gang ini.

Untuk mendatangi mereka, aku berpikir dua kali. Aku tak yakin, kedatanganku membuat keadaan membaik. Aku tak ingin ribut, cekcok dengan para pemuda pendatang itu. Melihat gelagat mereka saat bertemu yang terkesan angkuh, mana mau mendengar wejangan yang nanti aku sampaikan.

Dan lagi, bernyanyi tidaklah jelek. Bernyanyi itu mengungkapkan perasaan gembira atau bersedih. Apa hak aku melarang mereka tertawa atau menangis? Aku tak ingin dianggap sebagai tetangga yang tak berbudi. Tetangga yang tidak menghargai kebebasan berekspresi. Salah-salah, aku sendiri yang dipermasalahkan karena mengganggu kebebasan orang lain.

00

Sedari pagi, pintu tetangga depan rumah tertutup rapat. Biasanya pintu itu selalu sibuk dilewati dua anak keluarga itu.  Namun hari ini, rumah itu seperti tak berpenghuni. Aku menanyakan hal ini pada istriku. Ia tersenyum kecil,  tak merasa heran sepertiku.

"Mana mau mereka keluar rumah", katanya.

"Di luar banyak buaya yang sedang bernyanyi!"

Mereka lagi, seperti yang kuduga. Keberadaannya sampai membuat orang mengisolasi diri. Bila mereka berdendang, seisi rumah seolah tak ingin beranjak. Hal ini terutama dialami oleh Aisya dan Nuri, dua gadis cantik namun pemalu tetanggaku itu. Langkah kaki mereka seperti terbelenggu oleh nyanyian mereka.

Alih-alih membuat para penyanyi merasa bersalah, tarikan suara mereka semakin keras. Seolah hendak memanggil keduanya lewat lirik-lirik lagu percintaan. Mereka menyuarakan kerinduan pada sang gadis lewat lagu Widuri, Nona, dan Pamer Bojo milik Didi Kempot. Lagu yang terakhir mungkin salah alamat. Ia lebih cocok untuk memikat ibunda si gadis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun