Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lembar Terakhir Adiku

2 Desember 2021   14:11 Diperbarui: 2 Desember 2021   14:27 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo diunduh dari Pixabay.com

Terkadang kita melihat kekurangan pada diri orang lain sebagai hal yang biasa. Keganjilan yang terdapat pada  orang lain sebagai hal yang wajar, yang tak mesti dtutup-tutupi. Bahkan hal itu seringkali dianggap sebagai bahan lelucon.

Adiku sering dibawa keadaan pada hal demikian. Orang seenaknya mengomentari kekurangan yang ada pada dirinya. Senyatanya, kekurangan itu begitu kecil, bahkan nyaris tak terlihat. Namun mata elang orang dengan segera menangkap dan lidah mereka melumatnya sebagai bahan guyonan. Ejekan lebih tepatnya.

Daging sebesar biji kedelai yang tumbuh di punggung kaki adiku kerap membuat layu rasa percaya dirinya. Kemunculan daging yang ganjil dengan segera mengundang perhatian. Saat bertelanjang kaki, orang dengan mudah melihatnya. Dan meluncurlah gurauan atau lebih perih dari itu, ejekan padanya. Sebetulnya mereka tak berniat demikian, namun aku yakin adiku merasakan kesan yang berbeda.

Dulu Si Fatur yang menelisik daging tumbuh itu. Ia bertanya dengan penuh selidik. Apa perlunya ia menanyakan hal yang bukan urusannya, pikirku. Hampir ia kubentak, namun aku masih bisa menguasai emosiku. Pertanyannya kulayani walau dengan perasaan dongkol.

Bisa saja kubalik keadaan. Dia sebetulnya memiliki keganjilan yang lebih besar pada drinya. Kaki sebelah kanannya berjumlah jari yang tidak wajar. Namun aku urung melakukannya. Kedudukanku sebagai guru dan ia murid membentengiku untuk berbuat nista dengan balik menghinanya.

Keluarga dekat pun acap menyinggung perasaan adiku dengan mengomentari daging tumbuh itu. Adiku tak dapat berbuat apa pun selain nyengir kuda, menyembunyikan rasa malu. Padahal hatinya pasti nelangsa, betapa dirinya jadi bahan ejekan yang tak kenal henti.

**

Titik terang itu menuju ke arah adiku. Rasa minder yang bertahun-tahun memeluknya tak lama lagi akan berakhir. Adalah dokter baik hati di sebuah klinik desa yang menawarinya untuk mengangkat kutil itu. Dokter Tiara namanya, orang yang ia kenal saat jumpa di pertemuan para tutor pendidikan kesetaraan.

Perjumpaan itu begitu singkat. Ketika itu adiku diutus Pak Aceng, atasannya, menghadiri penyuluhan tentang pembelajaran di masa pandemi ini. Dokter Tiara menjadi pembicara tunggal di hadapan tujuh puluhan tutor. Adiku ditunjuk jadi moderator acara. Acara itu mengantar adiku dan sang dokter saling mengenal lebih dekat. Hingga saat ini perkenalan mereka semakin erat.

Satu hari sang dokter mengirim video dalam status WhatsApp-nya tentang operasi pengangkatan kutil. Adiku menyambutnya dengan mengatakan bila hal serupa itu juga ia miliki. Dan singkat cerita sang dokter menyanggupi untuk menolongnya menghilangkan daging tumbuh itu. Dan pertemuan pun disepakati di tempat ia membuka praktik.

**

Pada hari yang ditentukan, adiku datang ke kliniknya. Menunggang motor kesayangan yang  ia pacu dengan cepat. Tak lama ia pun telah sampai di pelataran klinik. Dokter menyambutnya dengan ramah. Barisan gigi putihnya terlihat saat tersenyum, menambah kecantikannya. Ah, andai ia telah jadi istri adiku, tentu barisan gigi rapi itu makin sering kulihat.

"Selamat datang di klinik," sapanya.

"Silakan tuan menuju meja pendaftaran," candanya.

Adiku segera menuju tempat yang ia sebut. Tak lama berselang perawat datang menimbang badan dan mengukur tekanan darah. Berat tubuh adiku tujuh puluh lima kilo dua ons. Dan tensinya 120 per 80.

"Normal, pak" kata perawat. Tampak adiku tersenyum, dengan mimik sedikit heran. Biasanya jarum penunjuk tensi tak jauh beranjak dari angka 160. Adiku memang punya riwayat hypertensi.

Setelah peralatan tersedia, operasi pun berlangsung. Di ruangan, perawat sibuk menusuk kaki adiku dua kali dengan jarum suntik. Suntikan untuk memberi efek kebas, sejenis anestesi berdaya ringan. Dokter Tiara menanyainya sebelum gunting bedah memotong kutil yang tumbuh. "Apa masih merasakan sakit?" tanyanya, seraya menekan kaki dengan tangannya. Adiku menjawab tidak. Dan sreet...gunting bedahnya bekerja.

Tak lebih dari lima menit operasi pengangkatan kutil berlangsung. Daging sebesar biji kedelai itu telah terpisah dari tubuh. Bahagia rasanya hati ini, melihat adiku telah terbebas dari keganjilan itu. Keganjilan yang menumbuhkan rasa minder selama bertahun-tahun.

Tibalah saat akhir dari operasi yang dikenal dengan sebutan skin tag remover itu. Dokter Tiara hendak menjahit luka dengan dua atau tiga jahitan. Ia pun memerintahkan perawatnya untuk menjalankannya.

"Tapi dok, menjahit akan meninggakan bekas mengkerut," kata perawat.

"Lukanya kecil dan rata, tanpa dijahitpun akan mengering," tambahnya.

"Ya sudah kalau begitu," dokter Tiara menyetujui.

**

Sore itu dilalui adiku dengan penuh rasa suka. Ia kembali ke rumah dengan langkah riang. Tiada lagi rasa minder, tiada lagi perasaan ganjil dalam dirinya. Adiku mengendarai motornya dengan cepat. Tak tampak bekas operasi yang berarti. Hanya bebatan perban seukuran kartu domino yang tampak di punggung kaki. Operasi berjalan lancar.

Tiba di rumah adiku menjalankan aktivitas seperti biasa. Bebatan perban tak sama-sekali membatasi gerak. Hingga malam menjelang, adiku diliputi perasaan bungah. Bahagia terlepas dari beban rasa minder, dan terlebih bahagia karena telah ditolong dokter cantik, Tiara.

Saat malam mulai merambat, bebat perban di kaki berubah warna. Perban yang semula putih bersih bersalin menjadi merah. Semakin lama warna merah itu semakin pekat. Merah oleh tetesan darah dari lubang yang ditutupinya. Sampai akhirnya, darah menetes ke alas kain, seprai, sampai menetes ke mana-mana.

Tak ingin keadaan semakin memburuk, aku melarikannya ke rumah sakit. Kami membawanya dengan meminjam mobil tetangga. Di perjalanan keadaan adiku semakin lemah. Tiba-tiba, semua menjadi getir. Dan, aku melihat mata adiku tertutup rapat. Bibirnya menggumamkan kalimat tauhid. Sementara darah tak henti mengucur dari luka di kakinya, seperti tetesan air dari selang yang bocor.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun