"Lukanya kecil dan rata, tanpa dijahitpun akan mengering," tambahnya.
"Ya sudah kalau begitu," dokter Tiara menyetujui.
**
Sore itu dilalui adiku dengan penuh rasa suka. Ia kembali ke rumah dengan langkah riang. Tiada lagi rasa minder, tiada lagi perasaan ganjil dalam dirinya. Adiku mengendarai motornya dengan cepat. Tak tampak bekas operasi yang berarti. Hanya bebatan perban seukuran kartu domino yang tampak di punggung kaki. Operasi berjalan lancar.
Tiba di rumah adiku menjalankan aktivitas seperti biasa. Bebatan perban tak sama-sekali membatasi gerak. Hingga malam menjelang, adiku diliputi perasaan bungah. Bahagia terlepas dari beban rasa minder, dan terlebih bahagia karena telah ditolong dokter cantik, Tiara.
Saat malam mulai merambat, bebat perban di kaki berubah warna. Perban yang semula putih bersih bersalin menjadi merah. Semakin lama warna merah itu semakin pekat. Merah oleh tetesan darah dari lubang yang ditutupinya. Sampai akhirnya, darah menetes ke alas kain, seprai, sampai menetes ke mana-mana.
Tak ingin keadaan semakin memburuk, aku melarikannya ke rumah sakit. Kami membawanya dengan meminjam mobil tetangga. Di perjalanan keadaan adiku semakin lemah. Tiba-tiba, semua menjadi getir. Dan, aku melihat mata adiku tertutup rapat. Bibirnya menggumamkan kalimat tauhid. Sementara darah tak henti mengucur dari luka di kakinya, seperti tetesan air dari selang yang bocor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H