Pagi itu hanya Arnol yang muncul. Seperti biasa, ia menyikat pakan yang kutebar. Dengan lahap ia memamah butiran-butiran kecil merah-hijau itu. Sepertinya kura-kura itu tak memedulikan temannya, Roki, yang entah ke mana. Â
Aku mencari sang kura-kura. Tiap sudut halaman kutelisik, berharap menemukan Roki. Namun nihil hasilnya. Roki tak tampak punggungnya. Aku mencarinya ke area yang lebih luas. Aku mengerahkan penghuni rumah untuk membantu mencari. Kami susuri badan jalan di depan rumah. Hasilnya sama, Roki tak ditemukan.
Sejak pagi itu, Roki tak pernah kembali. Kami pun melepasnya dengan perasaan berat. Hewan mungil bertempurung itu telah lama menemani. Binatang yang kami pelihara sejak masih seukuran ibu jari. Kami berebut untuk memberinya makan setiap hari.
Pada awalnya dua kura-kura hias itu kami tempatkan di dalam akuarium mini. Seiring berjalannya waktu badan mereka terus membesar. Sampai akhirnya, kotak kaca, rumah mereka tak cukup lagi menampung. Kami pindahkan mereka ke kolam dangkal di halaman depan.
Kami sediakan batu pijakan di pinggir kolam. Batu yang jadi titian sekiranya Roki dan Arnol hendak ke daratan. Biasanya mereka "mendarat" menjelang siang untuk berjemur. Keduanya betah berlama-lama, tengkurap di pinggir kolam hingga tempurung mereka seperti mau pecah karena kepanasan.
Di luar waktu berjemur, Roki dan Arnol sering mengangkat tubuh mereka ke daratan. Berjalan ke sana, ke mari tanpa ada yang dituju. Mereka terbiasa "bersembunyi" di balik rimbun dedaunan. Mereka bercokol di bawah gundukkan pohon lidah mertua, kuping gajah dan tanaman lainnya. Tak jarang pohon-pohon hias itu rusak. Batang dan daunnya patah "tergilas" oleh perut mereka saat berjalan.
Kura-kura tergolong hewan penjelajah. Tak pernah mau diam. Saat berada di permukaan air menggerakan keempat kakinya, berenang berputar-putar. Mulut mungilnya pun tak pernah berhenti menggigit apa pun yang dijumpai. Ekor ikan yang melebar seperti kipas sering jadi korban. Ikan-ikan Komet kami di kolam rata-rata ekornya tak mulus. Tepian ekor ikan-ikan malang itu jadi bergelombang kena gigitan Roki dan Arnol.
Hilangnya Roki membuat kami menduga-duga. Aku menduga ia pergi dengan menerobos sekat yang memagari taman dan kolam mungil itu. Sekat yang tingginya hanya sejengkal. Tidak sulit bagi Roki yang suka memanjat untuk melewati "rintangan" yang kubuat tersebut.
Istri dan anak-anakku lebih yakin bila Roki diambil pencuri. Harga kura-kura Brazil seperti Roki memang tak seberapa. Ibarat bumi dan langit bila disandingkan dengan jenis kura-kura "sultan" seperti yang dimiliki artis Irfan Hakim. Namun bagi para pencoleng, semua ada nilainya. Bukankah sandal jepit pun banyak yang dicuri? Begitu "teori" mereka.
Ada kemungkinan ketiga: Roki raib diseret oleh tikus. Binatang pengerat itu memang banyak berkeliaran di seputar permukiman. Mereka "menyerang" apa saja yang ditemui. Mobil seorang tetangga rontok kabel-kabelnya akibat ulah hewan berekor panjang ini. Tetangga lain yang mencintai tanaman hias, berang karena koleksinya tak luput dari gigitan si hewan bergigi gergaji.
Mengambil pelajaran dari raibnya Roki, kami membenahi sekat pembatas. Kami membuatnya lebih tinggi. Dengan "benteng" yang lebih tinggi, kami berharap hal yang sama tidak terjadi pada Arnol. Tak mudah baginya memanjat melewati sekat dengan memanggul "rumah" di punggungnya. Kami juga memberinya pakan lebih banyak. Kami pikir, banyak makan akan membuat kura-kura berkuping merah ini sedikit lamban bergerak.
Yang kedua, kami memburu kawanan tikus. Binatang pemangsa ini kami persempit ruang geraknya dengan menutup lubang yang berpotensi menjadi jalan keluar-masuknya. Dan cara legendaris pun kami terapkan: memasang perangkap tikus. Kami berharap tikus-tikus yang berkeliaran tidak secerdik tokoh Jery dalam serial "Tom and Jery", yang selalu dapat berkelit dari berbagai jebakan.
Sejak kepergian Roki, Arnol hidup sendiri. Kami tak memberinya kawan baru. Kami memahami bila Arnol merasa kesepian. Untuk menghiburnya, kami sempatkan diri untuk sering bermain-main dengannya. Tiap memberi makan, bila memiliki waktu senggang kami menyuapinya. Arnol terlihat riang. Ia selalu menyambar makanan dari tangan kami.
Kebersamaan dengan Arnol telah belasan tahun. Waktu yang panjang membuat kami merasa bila Ia seperti keluarga. Ia anggota keluarga tambahan dengan tubuh kate. Kami memperlakukannya dengan penuh rasa sayang. Di saat tertentu saat kami meninggalkan rumah seperti waktu mudik Lebaran, ia kami bawa serta.
Di perjalanan, Ia "duduk" dengan tenang. Tak kalah riang dari anggota keluarga yang lain. "Kecibak, kecibuk", suara air kerap terdengar dari kursi belakang. Rupanya ia ingin menimpali, "nimbrung" dalam obrolan kami. Ia menepuk-nepuk air dalam ember yang ditempatinya. Ia bersuara lewat ayunan tangannya.Â
Â
  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H