Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kenangan Indah Ibu

16 Maret 2021   06:59 Diperbarui: 16 Maret 2021   07:24 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namaku Anton. Aku bekerja sebagai sopir pribadi satu keluarga. Keluarga yang cukup terpandang di kota kami. Aku menggantungkan hidupku di sini telah lima belas tahun lamanya. Sejak aku membujang sampai kini berkeluarga dan beranak tiga.

Pekerjaanku sehari-hari melayani keperluan seluruh anggota keluarga. Mengantar jemput Nanda dan Dhika, dua cucu Ibu, bersekolah, mengantar ibu berbelanja, dan mengantar Bapak ke mana saja. Disamping itu, tentu tugasku juga adalah merawat kebersihan Ocha dan Silvia. Dua yang kusebut terakhir adalah nama yang kusematkan pada kendaraan milik majikanku.

Untuk beban kerja seperti itu, aku digaji sedikit di atas standar upah para pekerja pabrik atau buruh di kotaku. UMR atau Upah Minimum Regional, orang menyebutnya. Dengan penghasilan demikian, aku membiayai anak-anak sekolah, mengambil rumah cicilan, dan membayar kredit motor.

Sepintas penghidupanku tampak baik-baik saja. Namun kenyataannya tidaklah demikian. Penghasilanku jauh dari kata cukup. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok saja, aku harus berpikir keras setiap bulan. Aku mesti bersiasat agar periuk nasi kami tidak sampai kering tanpa isi. Namanya saja sopir. Di dunia ini, mana ada sopir yang gajinya sebesar gaji manajer?

*

Kawan, bukan hal itu yang ingin kuungkapkan lebih dalam. Bukan perkara dapur kami yang ingin kubuka, berharap belas kasih kalian. Aku hanya ingin bercerita tentang Ibu, majikanku, yang setiap hari aku temani. Ibu yang kuantar ke mana-mana.

Ibu memanggilku dengan "An" saja. Di usia ibu yang tak lagi muda, panggilan itu cukup sederhana dan mudah. Ibu mengikuti dua cucunya, yang kuantar jemput sekolah itu, yang memanggilku dengan sapaan Oman. Mereka merasa kagok bila harus memanggil Om An.

Kebiasaan ibu pergi berbelanja. Hampir setiap hari aku mengantarnya ke pasar swalayan. Kunjungan ibu di tempat ini tentu untuk membeli keperluan harian. Sayur, buah, dan beragam bumbu. Makanan kecil dan aneka rupa keperluan rumah senantiasa ibu beli. Tak heran bila keranjang belanjaan ibu selalu penuh. Isinya menumpuk sampai jauh melebihi tinggi keranjang.

Ibu selalu ramah pada siapa pun. Pada pekerja toko yang melayani, ibu tak pelit menyapa. Mereka terlihat senang berhadapan dengan ibu. Kehadiran Ibu selalu menyisakan senyuman dan rona bahagia. Pun begitu dengan para pekerja pria yang melayani sebagai portir. Mereka bergegas menghampiri Ibu di seputar kassa. Dengan gerakan cepat mereka mengemas belanjaan dan membawanya ke tempat parkir mobil.

Ibu hapal setiap nama.pelayan yang melayani. Kepada mereka, ibu cukup memanggil "Neng". Sapaan dalam bahasa Sunda ini mengandung nilai penghormatan. Para pelayan  yang disapa merasa dihargai dan diperlakukan dengan akrab. Namun, tidak demikian dengan para portir. Ibu mengenal baik  dan tak segan memanggil nama yang tersemat di dada mereka.

Pernah suatu hari, seorang petugas kassa mendatangi Ibu. Dengan mimik wajah cemas ia mengutarakan kelalaiannya saat menghitung belanjaan Ibu. Keranjang belanjaan Ibu ternyata lebih banyak isinya dari jumlah rupiah yang dibayar Ibu. Apa lacur, pelayan ini mesti mengganti kekurangannya.

Saat Ibu datang, sang pelayan menghampiri. Ia menyampaikan kealpaannya itu. Tanpa banyak berkata, Ibu mengembalikan sejumlah uang talangan sang operator kassa. Dan seperti biasa, rona wajah pekerja pasar swalayan itu kembali cerah.

Di tempat yang berbeda, Ibu dikenal baik oleh para pelayan toko busana anak. Ibu kerap datang ke toko ini untuk berbelanja baju dan pernak-pernik busana anak dan bayi. Kebiasaan Ibu sejak lama memberi hadiah kepada bayi yang lahir atau kanak-kanak kenalannya yang berulang tahun. Bila kabar kelahiran mereka terdengar,  tak lama Ibu menyiapkan kado sebagai hadiah.

Saat ibu berbelanja di suatu hari, mendadak seorang pelayan mendekat. Dengan malu-malu ia mengutarakan kesulitan keuangan untuk menyekolahkan anaknya. Serta merta, Ibu menuliskan alamat rumahnya di secarik kertas. Ibu mengundangnya untuk datang bersama anak yang hendak melanjutkan sekolah itu. Tak terperi kebahagiaan yang ia alami. Rona mukanya menyiratkan hal ini.

*
Usia Ibu bertambah renta. Lazimnya orang seusia Ibu menderita sejumlah penyakit. Penyakit ketuaan orang menyebutnya. Pun begitu dengan Ibu. Langkah kaki Ibu pun jadi terbatas. Ibu tak lagi pergi berbelanja. Ibu tak sekerap dulu menyapa para pelayan toko yang ia perlakukan sebagai sahabat-sahabat mudanya.

Satu hari di bulan Maret, aku mengunjungi toko busana anak itu. Dengan tatap penuh tanya mereka menanyakan Ibu. Mengapa Ibu tidak datang berbelanja? Aku pun menjawab bila Ibu telah pergi menghadap Sang Pencipta. Seketika suasana toko pun meredup. Para pelayan bersedih. Sebagian dari mereka terisak. Lampu-lampu dengan sinarnya yang lembut itu pun bagai cahaya lilin. Sinarnya seperti terhalang oleh tabir bernama duka.

Kepergian Ibu banyak ditangisi. Kepergian Ibu meninggalkan kenangan. Kenangan indah yang melekat kuat di setiap hati mereka yang mengenalnya. Kebaikan Ibulah kenangan indah itu.

mengenang kakak tersayang, E.K

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun