Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bendera Pink

15 Juni 2020   15:14 Diperbarui: 26 Juni 2020   19:26 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: SexualAlpha

Istriku wanita paling hebat sedunia. Ia tak pernah mengeluh soal kerjaan di rumah yang menumpuk, atau soal lemari persediaan makanan yang kosong melompong di dapur.

Baginya, kehadiranku di tengah keluarga melebihi apa pun. Asal aku berada di sisinya, ia seperti telah menggenggam dunia dan seisinya. Betul-betul istri ideal.

Pernah suatu hari, istriku menyiangi tanaman yang tumbuh di halaman depan rumah. Ia membabat rumput liar, memotong dahan pohon jambu air, dan mencukur habis pohon anak nakal hingga tinggal separuh. Ia melakukannya seorang diri.

Di hari lain, ia rela tangannya kotor dan bau oleh kotoran ayam kate peliharaanku. Ia tak sabar menungguku untuk membersihkan kandang ayam-ayam kerdil itu. Saat kutanya mengapa ia mengerjakan tugasku, ia hanya memberi isyarat. Satu gerakan jari tangan yang hanya kami berdua yang tahu artinya.

Hal-hal simbolik seperti itu telah menjadi hal yang biasa. Tidak hanya aku dan istriku, semua pasangan suami istri sepertinya melakukan hal yang sama. Setiap pasangan memiliki sandi-sandi tersendiri dalam berkomunikasi. Satu jenis sandi yang tak dapat dipecahkan oleh orang sehebat Albert Einstein sekalipun.

Aku memiliki isyarat untuk mengungkapkan beragam hal, terlebih hal yang berkaitan dengan urusan kamar tidur. Aku biasa menyilangkan telunjuk dan ibu jari sebagai tanda cinta. Gerak simbolik ini berjenis generik. Umat manusia sedunia memahami artinya. Namun bila tanda ini kutujukan pada istriku, dia mengerti apa yang kumau.

Dalam derajat yang lebih tinggi, ungkapan simbolik yang kukirim pun berbeda. Saat ingin menumpahkan kerinduan yang menggebu setelah berhari-hari tak bertemu, aku mengirim isyarat tangan yang terkepal, dengan ibu jari menyusup masuk ke dalam celah antara telunjuk dan jari tengah. Istriku mengerling manja dengan gerakan bibir menirukan kuda betina sedang tersenyum.

Satu lagi bahasa simbol yang kami amalkan adalah bahasa handuk. Biasanya kami pakai bahasa ini saat hasrat di dada sudah menggebu dan genderang perang sudah dipukul. Kami telah siap bertempur di atas kasur. Tidur bersama, beralas seprai wangi melati dan berlindung di bawah selimut. Handuk kecil berwarna pink laksana bendera perang yang kami kibarkan.

***

Di laci meja kerjaku tersimpan buku putih dengan tulisan bertinta biru. Aku tak pernah melewatkan membacanya, utamanaya di hari-hari khusus. Hari saat aku hendak menunaikan tugas sebagai suami. Hari saat bendera perangku, handuk pink, kukibarkan.

Buku ini berjudul Mars and Venus in the Bedroom. Satu bab dalam buku ini kubaca tempo hari. Bab yang mengupas topik tentang keterampilan di kamar untuk mencapai hubungan seks yang istimewa. Kubaca lembar demi lembar. Kucerna isinya dan kubayangkan untuk segera mengamalkannya.

Seks yang istimewa adalah hubungan yang mengingatkan pria maupun wanita akan kasih sayang yang lembut dan luhur. Inilah hal yang menyatukan mereka, demikian tertulis di sana. Aku ingin segera pulang untuk memperlakukan istriku dengan lembut. Aku akan membelai rambutnya yang panjang dan mengusap putih kulitnya di sekujur tubuh.

Saat yang kuidamkan itu tiba. Jarum jam telah bergeser dari angka dua belas. Penghuni rumah telah terlelap. Mereka tenggelam dalam mimpi masing-masing. Aku mengirim isyarat tangan level paling tinggi kepada istriku yang ia sambut dengan anggukan mesra. Kami bersama membawa lipatan bendera perang. Tak lama, bendera itu akan kami kibarkan.

Pintu kamar pun kututup rapat. Aku menguncinnya dengan gerakan lembut. Seteguk air sedikit meredakan nafasku yang menderu. Seperti orang lanjut usia menaiki tangga, begitu jantungku berdegup demi melihat istriku yang tengah menyisir rambut panjangnya. Aku membelainya, lembut sebagaimana uraian buku yang kubaca.

Kukecup keningnya sambil kusibak rambutnya. Istriku terpejam, tangannya melilit di pinggangku. Kubisikan kata sayang. Ia membalasnya dibarengi senyum kecil. Senyuman yang terukir dari sepasang bibir berlumur gincu tipis. Kurasakan dunia demikian damai. Kuremas lembut tangannya, kuajak ia mengibarkan bendera kemesraan, handuk pink itu.

Jarum jam menyaksikan dari jauh. Gerakannya seakan melambat. Seolah tak ingin melewatkan detik demi detik kebersamaan kami. Tiba-tiba, "peett" suara aliran lsitrik yang terhenti. Lampu tidur yang menempel di dinding pun padam.

"Tok...tok...tok" suara pintu diketuk.

Si kecil berlari menyongsong ibunya. Ia tak ingin tidur di kamarnya yang gulita. Aku pun perlahan menurunkan bendera perang kami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun