Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Secuil Tape di Saku Celana

12 Mei 2020   17:40 Diperbarui: 12 Mei 2020   17:41 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap hari selepas adzan Ashar, ruang aula sekolah kami berbenah. Karpet hijau bergambar kubah mesjid digelar. Rehal, meja kecil sebagai bantalan Al Quran diletakan di atasnya. Satu demi satu jemaah datang, duduk tertib menghadap meja kecil itu. 

Tak berselang lama ruangan dipenuhi jemaah. Tadarus Al Quran pun berlangsung. Khidmat, lantunan ayat demi ayat yang dibaca bergema di ruangan yang cukup luas.

Usai mengaji bersama, acara berlanjut dengan majelis ilmu. Para pembicara yang mengisi kegiatan ini datang dari beragam latar belakang. Ada anggota DPR yang kebetulan menjadi pendiri sekolah kami. 

Ada aktivis politik, ada pula seniman yang telah berkali-kali menggelar pameran karyanya. Namun yang paling sering berbicara pada kesempatan itu adalah para ustad yang menjadi pengajar di sekolah. Sekolah kami adalah sekolah Islam, karenanya tak sulit untuk mendatangkan penceramah yang memahami ilmu agama.

Penutup acara adalah berbuka puasa bersama. Inilah momen yang paling dinanti. Para jemaah yang dari awal mengikuti kegiatan menunjukkan wajah yang lega di sesi acara terakhir ini. Semua menunggu adzan maghrib berkumandang. 

Akhirnya, yang dinanti pun tiba. Di kejauhan, sayup terdengar suara muadzin. Jemaah pun bersiap untuk menyantap hidangan takjil yang sudah diedarkan.

Namun, ada yang berbeda. Sekolah kami menganut paham cara berbuka yang sedikt berbeda dari yang umum. Biasanya kita menyegerakan berbuka. Menyantap hidangan secepatnya, bahkan saat muadzin belum selesai mengumandangkan adzan. 

Sekolah kami menganut aliran fikih yang menunda waktu berbuka sampai keadaan langit benar-benar gelap. Biasanya waktu berbuka kami lima belas menit setelah kumandang adzan terdengar.

Maka gelisahlah para jemaah menunggu waktu yang lima belas menit itu. Ada yang berkali-kali melihat arlojinya. Ada yang berpura-pura duduk dengan khusyu namun mencuri pandang melihat jam dinding. 

Ada jemaah perempuan yang menenangkan anaknya agar bersabar. Namun si anak bergeming, segera merobek bungkus makanan yang dibawanya. 

Saya mencoba bersabar, namun dorongan perut yang kosong mendorong saya bertingkah seperti jemaah yang lain. Bahasa orang lapar memang sama, begitu bisik suara hati.

Itulah kenangan saat duduk di bangku SMA. Saya telah cukup dewasa, mampu menahan diri dari dorongan rasa lapar. Jauh sebelum masa itu, pada awal-awal ikut berpuasa, saya kerap ngumpet. 

Saya berusaha menjauh dari penglihatan kakak-kakak saya. Tujuan saya hanya satu, ingin menyuapkan makanan yang ada di kantong celana. Saya tergoda wangi tape singkong yang ibu beli. Saat suasana di dapur sepi, saya ambil "roti sumbu" itu secuil. Setelah itu saya berpuasa lagi. Saya merasa yakin, tak ada yang mengetahui apa yang saya lakukan tadi.

Beranjak remaja puasa saya lebih baik. Kebiasaan "ngumpet" itu sudah ditinggalkan. Saya sudah sampai pada pemahaman bila hal itu tidak boleh dilakukan. 

Saat puasa kita harus jujur. Kebohongan yang kita lakukan mungkin bisa luput dari penglihatan manusia. Namun tidak dengan Tuhan. Mata-Nya tak pernah lalai menyaksikan umatnya. Puasa pun berjalan dengan mutu yang meningkat.

Pepatah mengatakan semakin tinggi pohon, semakin kencang tiupan angin yang mengguncangnya. Begitu pun dengan puasa saya. Seiring pemahaman puasa yang lebih baik itu, godaan yang datang semakin menggiurkan. Jauh melebihi hembusan wangi tape singkong dulu.

Pada hari-hari terakhir Ramadhan, warga kampung saling berbagi makanan. Begitu pula yang orang tua kami lakukan. Di pagi buta mereka turun ke dapur, memasak aneka hidangan.

Terbilang istimewa hidangan yang mereka siapkan. Ada semur daging, sayur cabai hijau, sambal goreng kentang, juga tahu dan tempe goreng. Wangi aroma masakan itu menusuk-nusuk hidung, menggoda seisi rumah. Terlebih saya yang kebagian tugas mengirim makanan itu kepada tetangga dan kerabat dekat.

Akibat kerja yang terbilang berat, badan pun kecapean. Perut lapar dan tenggorokan yang kering semakin membuat keadaan saya merana. Akhirnya ibu menawarkan pilihan untuk berbuka. Ia menggiring saya ke sudut dapur. 

Saya berbuka puasa lebih awal, saat jam dinding baru berderak dari angka dua. Entah, kakak-kakak saya mengetahui peristiwa ini atau tidak. Saat berbuka puasa semua tampak biasa. Saya makan dengan lahap, menyambung santapan tadi siang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun