Mohon tunggu...
Iwan Setiawan
Iwan Setiawan Mohon Tunggu... Guru - Menulis untuk Indonesia

Pustakawan, dan bergiat di pendidikan nonformal.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Secuil Tape di Saku Celana

12 Mei 2020   17:40 Diperbarui: 12 Mei 2020   17:41 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Itulah kenangan saat duduk di bangku SMA. Saya telah cukup dewasa, mampu menahan diri dari dorongan rasa lapar. Jauh sebelum masa itu, pada awal-awal ikut berpuasa, saya kerap ngumpet. 

Saya berusaha menjauh dari penglihatan kakak-kakak saya. Tujuan saya hanya satu, ingin menyuapkan makanan yang ada di kantong celana. Saya tergoda wangi tape singkong yang ibu beli. Saat suasana di dapur sepi, saya ambil "roti sumbu" itu secuil. Setelah itu saya berpuasa lagi. Saya merasa yakin, tak ada yang mengetahui apa yang saya lakukan tadi.

Beranjak remaja puasa saya lebih baik. Kebiasaan "ngumpet" itu sudah ditinggalkan. Saya sudah sampai pada pemahaman bila hal itu tidak boleh dilakukan. 

Saat puasa kita harus jujur. Kebohongan yang kita lakukan mungkin bisa luput dari penglihatan manusia. Namun tidak dengan Tuhan. Mata-Nya tak pernah lalai menyaksikan umatnya. Puasa pun berjalan dengan mutu yang meningkat.

Pepatah mengatakan semakin tinggi pohon, semakin kencang tiupan angin yang mengguncangnya. Begitu pun dengan puasa saya. Seiring pemahaman puasa yang lebih baik itu, godaan yang datang semakin menggiurkan. Jauh melebihi hembusan wangi tape singkong dulu.

Pada hari-hari terakhir Ramadhan, warga kampung saling berbagi makanan. Begitu pula yang orang tua kami lakukan. Di pagi buta mereka turun ke dapur, memasak aneka hidangan.

Terbilang istimewa hidangan yang mereka siapkan. Ada semur daging, sayur cabai hijau, sambal goreng kentang, juga tahu dan tempe goreng. Wangi aroma masakan itu menusuk-nusuk hidung, menggoda seisi rumah. Terlebih saya yang kebagian tugas mengirim makanan itu kepada tetangga dan kerabat dekat.

Akibat kerja yang terbilang berat, badan pun kecapean. Perut lapar dan tenggorokan yang kering semakin membuat keadaan saya merana. Akhirnya ibu menawarkan pilihan untuk berbuka. Ia menggiring saya ke sudut dapur. 

Saya berbuka puasa lebih awal, saat jam dinding baru berderak dari angka dua. Entah, kakak-kakak saya mengetahui peristiwa ini atau tidak. Saat berbuka puasa semua tampak biasa. Saya makan dengan lahap, menyambung santapan tadi siang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun