Setiap orang mempunyai kelemahan dan kelebihan. No one person is perfect. Ada beberapa tipikal orang di sekitar kita sangat bagus dan berapi-api berbicara di depan khayalak ramai, tetapi kurang bagus dalam hal menulis. Atau, sebaliknya ada orang yang sangat tetata dalam menulis sebuah artikel dan setiap paragraph yang ia tulis saling berhubungan satu sama lain.
Faktanya, memang ada orang yang pintar berbicara di depan khayalak ramai tetapi lemah saat menulis sebuah artikel. Itu mungkin terjadi pada diri kita. Saat seseorang meminta kita menceritakan sebuah kejadian atau mengajar di depan kelas, kita bisa langsung lancar menceritakannya atau menjelaskan kepada siswa-siswi
Namun, sebaliknya saat kita diminta untuk menuliskan cerita kejadian tersebut dalam sebuah tulisan mendadak tangan kita kaku, semua yang kita tulis tidak logis, dan paragraph pertama dan kedua, dst tidak saling berhubungan satu sama lain.Â
Hal sebaliknya terjadi, kita merasa nyaman saat menulis, tetapi langsung gugup dan gemetar ketika membicarakan topik yang sama di depan orang.
Beberapa hari yang lalu, ada seorang teman yang menanyakan kepada saya,
Wan, gimana caranya agar bisa menulis dan berbicara dengan tingkat kemampuan yang sama. Bagaimana bisa menulis selucu saat bicara dan atau berbicara seinspiratif ketika menulis?Â
Jujur, aku sulit menyeimbangkan kedua hal yang sama. Masih belajar terus. Pada saat itu, saya menceritakan pengalaman yang saya alami dan hari ini aku tuliskan cerita itu.
Saat saya berbicara di depan umum, saya terkadang tidak berpikir berbicara soal struktur kata atau ejaan yang disempurnakan EYD atau struktur S=P=-O-K. Bukan hanya saya, banyak orang lain juga begitu.Â
Menariknya, ketika gagasan acak yang kita sampaikan acak diomongkan, dia tidak terasa atau terdengar acak. Ada dukungan intonasi, mimik, gesture, nada bicara, volume, dll. Orang yang mengikuti pembicaraan kita bisa terbawa suasana untuk memahami. Akibatnya gagasan kita terdengar acak.
Permasalahan yang muncul adalah ketika pembicaraan itu diubah menjadi tulisan, hasilnya bisa kacau. Jika kamu terbiasa bicara di depan orang, coba rekam pidato ini lalu tulis ulang dari hasil rekaman itu.Â
Diamkan selama tiga hari lalu baca. Tulisan itu mungkin terasa aneh atau bahkan tidak nyambung. Itulah bedanya berbicara dan menulis menurut pengalaman sendiri dan banyak kawan, nulis jauh lebih sulit dibandingkan ngomong. Bagaimana cara mengatasinya?
Coba perhatikan tulisan hasil transkrip pidato tadi. Coba benahi tulisan yang terasa aneh dan tidak nyambung itu dengan membubuhkan kata atau kalimat penghubung dan nyambung.Â
Setelah itu, kita coba baca ulang dan jadikan pedoman berlatih bicara. Pastikan intonasi dan nada serta pelafalan benar. Jadi, naskah yang baru ini sudah merupakan penyempurnaan dari versi omongan menjadi versi tulisan.
Selanjutnya berlatih, dengan berlatih, lama-lama akan ada peningkatan dan menjadi terbiasa. Dalam hal ini, akan semakin sempit gap/jurang/perbedaan antara bahasa tulisan dan lisan.Â
Selanjutnya, biasakan, ketika bicara, imajinasikan bahwa pembicaraan itu akan ditulis. Maka lama-lama di alam bawah sadar kita aka nada kendali. Saat berbicara, sebaiknya tidak hanya mengandalkan kualitas pada intonasi, gesture, mimik, dan bahasa tubuh lain tetapi juga pada susunan kata dalam kalimat.
Apakah melakukan hal yang saya ceritakan diatas mudah? Tentu saja tidak. Kalau mudah, tentu semua orang sudah bicara menulis dan berbicara dengan mengagumkan. Bagi saya, tidak simsalabim.Â
Yang ada adalah usaha untuk belajar dan mencoba. Secara praktis, kita bisa belajar dari orang-orang yang merupakan orang ulung atau presenter, seperti pidato Obama atau presenter kawakan Oprah Winfrey. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H