Mohon tunggu...
iwak pitik
iwak pitik Mohon Tunggu... Freelancer - S1 Teknik Informatika

(Wiguna Mahardika) adalah lulusan S1 jurusan Teknik Informatika dengan IPK 3.32. Memiliki kemampuan interpersonal yang baik, berpikir kritis dan kreatif. Selalu bersemangat untuk berkembang dalam segala bidang diterapkan untuk mengembangkan kualitas.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

"Semua Ini Nyata atau Halusinasi" Apakah Hidup Ini Nyata atau Kita Sedang Halusinasi?

27 Oktober 2024   16:18 Diperbarui: 27 Oktober 2024   17:24 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

DUNIA INI ADALAH HALUSINASI INDIVIDU : Mengapa Semua yang Kita Ketahui Diciptakan Oleh Otak ? Apakah segalanya ini hanya manifestasi dari otak kita sendiri ?


Pernahkah kita berpikir bahwa segala hal yang kita lihat, dengar, rasakan, dan alami sebenarnya hanyalah konstruksi dari pikiran kita sendiri ? Bahwa hukum fisika, prinsip moral, identitas diri, dan kehidupan ini adalah hasil dari interpretasi otak yang mengisi kekosongan di luar sana ? Ide ini memicu perdebatan filosofis panjang mengenai "realitas", yang mungkin hanyalah ilusi yang dihasilkan oleh otak kita. Jika ini benar, maka "realita" bukanlah sesuatu yang independen dari kita, melainkan sebuah halusinasi individu atau halusinasi pribadi kita sendiri.

mysteries.com
mysteries.com

Dunia Sebagai Konstruksi Mental.

Otak manusia adalah organ yang luar biasa, dansgaa persepsi tentang dunia luar sepenuhnya bergantung pada bagaimana otak memproses informati. Dalam hal ini, dunia yang kita "lihat" adalah dunia uang diciptakan oleh otak, bukan dunia sebagaimana adanya. Proses pengolahan ini mencakup segalanya, mulai dari cara kita memandang warna, bentuk, suara, hingga konsep-konsepp abstrak seperti hukum alam dan prinsip-prinsip moral.

Dalam prosesnya, otak menangkap informasi dari indera kita (mata, telinga, kulit, dll) dan mengolahnya menjadi pengalaman yang koheren. Namun, apa yang diolah otak bukanlah representasi pasti dari kenyataan, Otak hanya memberikan "terjemahan" dari data sensorik menjadi sesuatu yang dapat dipahami. Hal ini membuka kemungkinan bahwa realitas yang kita alami bukanlah realitas sebenarnya, melainkan hanya ilusi yang konsisten dengan bagaimana otak kita bekerja.

Halusinasi Sebagai Realitas : Kasus Penderita Skizofrenia Akut.

Skizofrenia akut adalah gangguan dimana seseorang bisa terjebak dalam halusinasinya sendiri yang seolah-olah itu adalah kenyataannya dan penderita tak bisa kembali karena menurut penderita itu kenyataan mutlak bukan halusinasi seperti menurut orang lain. Dalam halusinasi mereka itu semua nyata "bagi mereka". Halusinasi suara, penglihatan, alamiah seperti normalnya manusia pada umumnya dengan segala hal yang ada di semesta ini. Tapi itu hanyalah halusinasi penderita skizofrenia. Segalanya tampak nyata hingga bagi penderita itulah kenyataan mutlak. Bagi orang lain mungkin itu halusinasi. Penderita skizofrenia akut bisa sampai dalam tahap hidup dalam kenyataan di dunia halusinasinya dan tak bisa kembali karena menurut mereka itulah kenyataan sebenarnya.

Skizofrenia akut memberikan contoh nyata tentang bagaimana seseorang bisa hidup dalam dunia halusinasi yang dianggap sebagai realita mutlak. Seseorang dengan skizofrenia parah seringkali mengalami delusi dan halusinasi yang sangat kuat, hingga mereka tidak dapat membedakan antara pengalaman halusinasi mereka dan dunia "nyata" di luar. Misalnya, seorang penderita skizofrenia mungkin merasa bahwa ia diawasi oleh orang-orang yang sebenarnya tidak ada atau mendengar suara yang bagi mereka sangat nyata.

Dalam kasus skizofrenia, otak menciptakan realitas yang benar-benar menyeluruh dan mendalam, lengkap dengan "tokoh" atau "suara" bahkan hal tak terbatas yang ada dalam pikiran penderita. Dunia yang dialami itu adalah hasil dari konstruksi otak mereka, yang tidak dapat dibedakan dari realitas. Seperti kita mempercayai kenyataan yang kita alami, mereka pun mempercayai dunia halusinatif mereka dan bagi mereka itu kenyataan yang penderita alami. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang dianggap sebagai "realitas" sepenuhnya bergantung pada persepsi dan keyakinan, bukan pada fakta objektif yang berada di luar. 

www.verywellhealth.com
www.verywellhealth.com

Fisika Sebagai Produk Imajinasi Kolektif.

Menariknya, teori ini tidak hanya berlaku pada persepsi individu tetapi juga dapat diterapkan pada konsep-konsep yang kita anggap objektif, seperti hukum fisika. Hukum-hukum fisika seperti gravitasi atau termodinamika muncul dari hasil pengamatan manusia terhadap dunia sekitar, dan kita menyusunnya agar bisa dipahami secara konsisten oleh otak kita. Dari sudut pandang ini, hukum fisika tida lebih dari "kesepakatan" yang dibuat oleh manusia berdasarkan pengalaman kolektif. Mereka bukan kebenaran absolut, tetapi konsep-konsep yang berguna bagi otak untuk memahami dunia.

Jika kita melihat hukum-hukum fisika sebagai produk dari interaksi otak, ini membuka kemungkinan bahwa ada versi lain dari realitas yang mungkin tidak bisa dipahami oleh otak manusia karena keterbatasan kita dalam menerima dan mengolah informasi. Jadi, apa yang kita anggap sebagai "kebenaran" dalam sains mungkin hanyalah hasil dari halusinasi kolektif yang dipertahankan agar kita dapat hidup dengan cara teratur dan koheren.

Konsep Kehidupan Sebagai Halusinasi yang Konsisten.

Dengan memahami bahwa dunia bisa jadi hanyalah dari konstruksi otak individu, kita sampai pada pertanyaan filosofis yang mendasar yaitu : Jika semuanya adalah ilusi, apakah ada realitas sejati di luar sana ? Banyak pemikir dan filsuf telah berpendapat bahwa hidup adalah halusinasi yang konsisten, dimana otak kita terus menrus menyusun dan mengorganisasi informasi menjdai pengalaman yang bermakna. Selama kita semua sepakat dengan aturan-aturan dalam ilusi ini, kita bisa hidup dalam realitas yang "berfungsi".

Namun, ini juga berarti apa yang kita sebut "kebenaran" mungkin sangat subjektif dan berbeda bagi setiap orang. Setiap individu mungkin hidup dalam realitas unik yang dipengaruhi oleh persepsi, emosi, pengalaman, dan kondisi mental mereka. Bahkan dua orang yang berdiri ditempat yang sama mungkin melihat dunia secara berbeda karena cara otak mereka masing-masing menginterpretasikan informasi.

Apakah Realitas Hanya Halusinasi ?

Jika segala sesuatu adalah halusinasi individu yang diciptakan oleh otak, maka realitas yang kita ketahui mungkin hanyalah lapisan tipis dari sesuatu yang jauh lebih kompleks. Dunia yang kita pahami hanyalah representasi subjektif, sebuah terjemahan yang sangat dipengaruhi batasan otak manusia. Dalam hal ini, kita semua bisa dianggap seperti penderita skizofrenia akut yang hidup dalam halusinasinya sendiri-hanya saja kita memiliki ilusi kolektif yang cukup serupa satu sama lain untuk disebut sebagai "realitas bersama" padahal kenyataannya itu adalah halusinasi sendiri dari produksi otak kita.

Dengan kata lain mungkin kita tidak benar-benar mengalami dunia sebagai apa adanya, melainkan hanya "dunia" yang diciptakan oleh otak kita. Dan jika itu benar, maka dunia hanyalah halusinasi, namun halusinasi yang terus-menerus dipertahankan agar kita dapat menjalani kehidupan sehari-hari.

Apa yang Membuat Halusinasi ini Konsisten ?

Jika realitas adalah halusinasi individu yang diciptakan oleh otak, lalu mengapa kita memiliki persepsi yang mirip dengan dunia di sekitar kita ? Mengapa kita bisa menyepakati bahwa benda jatuh karena gravitasi, bahwa pohon itu daunnya hijau, atau bahwa panas itu menyengat ? Salah satu jawabannya adalah struktur biologis otak manusia.

Otak manusia, meskipun berbeda satu sama lain dalam banyak hal, memiliki pola umum dalam hal struktur dan fungsi. Hal ini memungkinkan manusia memiliki persepsi serupa tentang hal-hal tertentu. Namun, variasi dalam pengalaman, budaya, dan emosi pribadi juga berarti bahwa tidak ada dua orang yang benar-benar memiliki persepsi yang identik. Kesamaan dan kesepakatan kita terhadap "realitas" hanyalah hasil dari kesamaan pola otak dan interaksi sosial, bukan dari realitas objektif yang ada di luar sana.

yahoo.com
yahoo.com

Otak dan Konteks Sosial dalam Menciptakan "Realitas"

Otak kita juga beradaptasi dan belajar dari lingkungan sosial, yang membantu kita membentuk versi realitas yang sesuai. Dengan kata lain, kita hidup dalam "realitas sosial" yang dibentuk oleh berbagai norma, nilai, dan pengalaman kolektif. Contohnya, konsep waktu dan uang merupakan kesepakatan sosial yang diciptakan agar manusia dapat hidup dengan lebih teratur dan harmonis. Keduanya hanyalah mental yang secara kolektif disetujui dan dilanggengkan dalam masyarakat.

Dalam konteks ini, halusinasi individu kita "dibingkai" oleh budaya dan masyarakat, membuat kita cenderung memiliki kesepakatan tentang konsep tertentu. Meskipun setiap orang mungkin melihat warna merah secara berbeda, kita semua setuju bahwa merah adalah simbol untuk berhenti di lalu lintas. Ini adalah hasil dari apa yang disebut "realitas intersubjektif" - sebuah kenyataan yang dihasilkan oleh kesepakatan bersama dan tertanam dalam budaya.

Apa Yang Terjadi Jika  Realitas Ini Pecah ?

Banyak ahli psikologi dan filsuf menyatakan bahwa hidup dalam ilusi yang konsisten sangatlah penting untuk kesehatan mental. Ketika ada kerusakan atau "pecahnya" persepsi realitas dalam otak, seseorang bisa mengalami gangguan mental seperti psikosis atau skizofrenia. Individu yang tidak mampu membedakan antara ilusi yang ia ciptakan sendiri dan kenyataan yang lebih luas yang diakui secara sosial.

Ketika ilusi realitas ini terganggu, individu tersebut bisa hidup dalam dunia yang sangat berbeda dari orang-orang di sekitarnya, membuatnya sulit untuk berkomunikasi dan berfungsi dalam masyarakat. Ini menunjukkan bahwa, meskipun realitas kita mungkin adalah ilusi kita sendiri, memiliki ilusi yang konsisten dan terkoordinasi dengan orang lain adalah kunci untuk hidup yang stabil.

Apakah Ada Realitas Sejati ?

Pertanyaan apakah ada realitas sejati dari di balik semua ini masih menjadi misteri besar dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Teori- teori kuantum dan kajian tentang kesadaran menunjukkan bahwa apa yang kita pahami sebagai "dunia nyata" mungkin hanya salah satu dari banyak kemungkinan realitas yang bisa kita alami. Beberapa filsuf bahkan berpendapat bahwa realitas mungkin tidak ada sama sekali di luar kesadaran individu, dan bahwa setiap orang pada dasarnya hidup dalam alam semestanya sendiri.

Jika benar bahwa tidak ada realitas objektif yang absolut, maka mungkin setiap individu menciptakan versinya sendiri, berdasarkan batasan-batasan otak, pengalaman, dan interaksi sosialnya. Namun, hingga saat ini, kebenaran tentang realitas sejati masih menjadi sesuatu yang sulit dipahami, mungkin diluar jangkauan pemahaman manusia.

Dunia Sebagai Halusinasi Terbesar Kita.

www.amazon.com
www.amazon.com

Dengan pemahaman bahwa dunia adalah konstruksi mental yang diciptakan oleh otak, kita bisa menyimpulkan bahwa hidup kita adalah perpaduan antara persepsi subjektif dan kesepakatan sosial. Mungkin kita tidak benar-benar "hidup dalam kenyataan", tetapi dalam dunia yang diciptakan oleh otak untuk memenuhi kebutuhan kita dalam menjalani hidup sehari-hari. Apapun kenyataan/ realitas sejati yang ada di luar sana, kita semua menjalani halusinasi yang sama, hanya saja dengan cara yang cukup konsisten sehingga kita bisa menyebutnya sebagai realitas bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun