Jika kita melihat hukum-hukum fisika sebagai produk dari interaksi otak, ini membuka kemungkinan bahwa ada versi lain dari realitas yang mungkin tidak bisa dipahami oleh otak manusia karena keterbatasan kita dalam menerima dan mengolah informasi. Jadi, apa yang kita anggap sebagai "kebenaran" dalam sains mungkin hanyalah hasil dari halusinasi kolektif yang dipertahankan agar kita dapat hidup dengan cara teratur dan koheren.
Konsep Kehidupan Sebagai Halusinasi yang Konsisten.
Dengan memahami bahwa dunia bisa jadi hanyalah dari konstruksi otak individu, kita sampai pada pertanyaan filosofis yang mendasar yaitu : Jika semuanya adalah ilusi, apakah ada realitas sejati di luar sana ? Banyak pemikir dan filsuf telah berpendapat bahwa hidup adalah halusinasi yang konsisten, dimana otak kita terus menrus menyusun dan mengorganisasi informasi menjdai pengalaman yang bermakna. Selama kita semua sepakat dengan aturan-aturan dalam ilusi ini, kita bisa hidup dalam realitas yang "berfungsi".
Namun, ini juga berarti apa yang kita sebut "kebenaran" mungkin sangat subjektif dan berbeda bagi setiap orang. Setiap individu mungkin hidup dalam realitas unik yang dipengaruhi oleh persepsi, emosi, pengalaman, dan kondisi mental mereka. Bahkan dua orang yang berdiri ditempat yang sama mungkin melihat dunia secara berbeda karena cara otak mereka masing-masing menginterpretasikan informasi.
Apakah Realitas Hanya Halusinasi ?
Jika segala sesuatu adalah halusinasi individu yang diciptakan oleh otak, maka realitas yang kita ketahui mungkin hanyalah lapisan tipis dari sesuatu yang jauh lebih kompleks. Dunia yang kita pahami hanyalah representasi subjektif, sebuah terjemahan yang sangat dipengaruhi batasan otak manusia. Dalam hal ini, kita semua bisa dianggap seperti penderita skizofrenia akut yang hidup dalam halusinasinya sendiri-hanya saja kita memiliki ilusi kolektif yang cukup serupa satu sama lain untuk disebut sebagai "realitas bersama" padahal kenyataannya itu adalah halusinasi sendiri dari produksi otak kita.
Dengan kata lain mungkin kita tidak benar-benar mengalami dunia sebagai apa adanya, melainkan hanya "dunia" yang diciptakan oleh otak kita. Dan jika itu benar, maka dunia hanyalah halusinasi, namun halusinasi yang terus-menerus dipertahankan agar kita dapat menjalani kehidupan sehari-hari.
Apa yang Membuat Halusinasi ini Konsisten ?
Jika realitas adalah halusinasi individu yang diciptakan oleh otak, lalu mengapa kita memiliki persepsi yang mirip dengan dunia di sekitar kita ? Mengapa kita bisa menyepakati bahwa benda jatuh karena gravitasi, bahwa pohon itu daunnya hijau, atau bahwa panas itu menyengat ? Salah satu jawabannya adalah struktur biologis otak manusia.
Otak manusia, meskipun berbeda satu sama lain dalam banyak hal, memiliki pola umum dalam hal struktur dan fungsi. Hal ini memungkinkan manusia memiliki persepsi serupa tentang hal-hal tertentu. Namun, variasi dalam pengalaman, budaya, dan emosi pribadi juga berarti bahwa tidak ada dua orang yang benar-benar memiliki persepsi yang identik. Kesamaan dan kesepakatan kita terhadap "realitas" hanyalah hasil dari kesamaan pola otak dan interaksi sosial, bukan dari realitas objektif yang ada di luar sana.
Otak dan Konteks Sosial dalam Menciptakan "Realitas"
Otak kita juga beradaptasi dan belajar dari lingkungan sosial, yang membantu kita membentuk versi realitas yang sesuai. Dengan kata lain, kita hidup dalam "realitas sosial" yang dibentuk oleh berbagai norma, nilai, dan pengalaman kolektif. Contohnya, konsep waktu dan uang merupakan kesepakatan sosial yang diciptakan agar manusia dapat hidup dengan lebih teratur dan harmonis. Keduanya hanyalah mental yang secara kolektif disetujui dan dilanggengkan dalam masyarakat.
Dalam konteks ini, halusinasi individu kita "dibingkai" oleh budaya dan masyarakat, membuat kita cenderung memiliki kesepakatan tentang konsep tertentu. Meskipun setiap orang mungkin melihat warna merah secara berbeda, kita semua setuju bahwa merah adalah simbol untuk berhenti di lalu lintas. Ini adalah hasil dari apa yang disebut "realitas intersubjektif" - sebuah kenyataan yang dihasilkan oleh kesepakatan bersama dan tertanam dalam budaya.
Apa Yang Terjadi Jika  Realitas Ini Pecah ?
Banyak ahli psikologi dan filsuf menyatakan bahwa hidup dalam ilusi yang konsisten sangatlah penting untuk kesehatan mental. Ketika ada kerusakan atau "pecahnya" persepsi realitas dalam otak, seseorang bisa mengalami gangguan mental seperti psikosis atau skizofrenia. Individu yang tidak mampu membedakan antara ilusi yang ia ciptakan sendiri dan kenyataan yang lebih luas yang diakui secara sosial.