Pernah terpikirkah anda, mengenai profesi Debt Collector? Executor? Profesi ini banyak mendapat sorotan dan image negatif dari masyarakat. Dalam tulisan saya ini, saya ingin mengajak Pembaca untuk memahami mereka secara pribadi dan melihat sisi-sisi lain dari mereka. Ada beberapa sahabat saya yang menarik untuk diceritakan mengenai kisah hidupnya, perjuangannya, dilemanya dan bagaimana cara berfikir mereka. Kisah perjuangan mereka bertahan hidup dengan segala keterbatasan, bagaimana hati mereka sesungguhnya dan bagaimana saat titik balik kehidupan mereka datang lalu mengubah mereka menjadi sahabat-sahabat saya yang menginspirasi.
Dan untuk kesempatan awal edisi 1 ini, saya ingin mengupas kisah hidup seorang sahabat saya yang kita sebut saja Pak T. Terima kasih sudah berkenan mengijinkan berbagi cerita dan kesemua kisahnya sebagaimana yang telah diutarakan pada saya, sudah saya paparkan disini ya Pak...
(Mohon maaf bilamana ada kesalahan dalam pemaparan, nama atau apapun dalam isi kisah ini...)
KERASNYA HIDUP, BUKAN KERASNYA HATI
Pak T berusia 40 tahunan, lelaki berperawakan biasa dan terlihat ramah ini tidak memiliki ciri-ciri seorang debt collector. Tutur katanya yang humoris dan penampilannya yang rapi, jauh dari bayangan masyarakat akan debt collector yang kasar, hitam, tinggi besar, galak, berangasan dan tidak memiliki sopan santun. Pak T orang Lampung. Orang tuanya berasal dari Jawa dan jadi ‘kamituwo’ (orang yang dituakan) di daerahnya.
Dengan segenap harapan, Pak T muda merantau ke Jakarta untuk kuliah. Akhirnya ia kuliah dan menjalani kehidupan sebagaimana mahasiswa biasa. Sampai akhirnya 6 bulan kemudian ia menerima telegram dari ayahnya, jika ayahnya sudah tidak mampu lagi membiayai kuliahnya termasuk pula biaya hidup T di Jakarta. Betapa sedihnya T. Ada rasa nelangsa, karena kakak-kakaknya dibiayai sampai selesai kuliah, tapi mengapa saat ia yang kuliah ternyata perekonomian keluarganya jatuh. Kehidupan harus tetap berjalan, ia sudah bertekad untuk berhasil di perantauan, bagaimanapun beratnya.
Setelah itu, ia berfikir untuk mencari nafkah. Pekerjaan pertama yang terpikir adalah menjadi tukang ojek. T mendatangi Pangkalan Asem-Cempaka Putih, tempat ojek mangkal. Ia tidak punya motor, tapi ia tidak mau menyerah. Ia coba bertanya pada ojek-ojek lain disana barangkali ada yang bisa dipinjam motornya untuk ngojek. Untunglah ojek disana baik dan mau memberitahu sekaligus mengantarkannya menemui seorang dokter yang tinggalnya di daerah Cempaka Wangi. Dokter tersebut sangat baik, ia mau menolong T. T bisa pinjam motornya dengan setoran Rp.1.500,00 – Rp.2.500,00 per hari. Dan tanpa disangka, ia malah dipinjami juga uang untuk bayar kuliah dan dibayar kemudian pada si dokter yang baik hati tadi dengan mengangsur. Dalam sehari, T bisa mendapat uang sekitar Rp.10.000,00. Uang untuk bertahan hidup dan mengangsur uang kuliah.
Dengan penghasilan yang pas-pasan, T hanya bisa mendapatkan sepetak tempat untuk tidur. Sebuah meja dan tempat tidurnya yang sempit, menempel di dinding berjendela kawat ayam yang hanya ditutup kelambu. Setiap kali hujan, air akan tampias dijendela itu. Demikian pula jika angin berhembus keras, maka hawa dingin masuk menusuk tulang T yang lelah dan seringkali masih harus tidur sambil terbalut lapar...
Setiap hari T ngojek mulai subuh sekitar jam 04.00-16.00. Lalu jam 17.00-21.00 kuliah. Selewatnya, ia ngojek lagi hingga lewat tengah malam. Setiap hari ia hanya tidur 2-3 jam dan makan seadanya. Pekerjaan ojek ini ia jalani sekitar 6 bulan.
T muda bukan orang yang mudah menyerah, selama mengojek setiap hari ia mendisiplinkan diri untuk membuat 3 lamaran pekerjaan. Setiap hari ia mencatat lowongan pekerjaan dari koran yang ada di warteg tempatnya biasa mangkal ngojek, membuat lamaran pekerjaan dan mengirimkannya ke kantor pos Jl. Mardani, Jakarta. Setelah 3 bulan, yang berarti sekitar 90 lamaran pekerjaan, akhirnya ada juga panggilan kerja untuknya dari sebuah Bank Swasta di Jakarta. Ternyata panggilan kerja tersebut untuk menjadi security sebuah klenteng di daerah Sunter. Klenteng tersebut didirikan oleh boss besar pemilik Bank Swasta tersebut dan letaknya di perumahan yang sama dengan tempat tinggal boss besar tersebut. Untuk bertahan hidup, T muda setiap harinya membawa pulang sesajian, hidangan-hidangan dan buah-buahan yang boleh dibawa dari klenteng tersebut setelah selesai sembahyangan. Hal ini ia lakukan selama 6 bulan, lalu T resign dan beralih bisnis ambil gula dari Lampung dan membawanya masuk ke Jawa.
Setiap hari, T rajin kuliah dan ia juga bekerja. Mendistribusikan gula di Pasar Ciung, Kemayoran. Setiap Jumat, Sabtu, Minggu ia ikut ambil gula ke Lampung, T jadi kernetnya. T muda tidak bisa santai, setiap hari ia harus mencari makan untuk bertahan hidup dan berjuang melanjutkan cita-citanya. Bahkan karena lelahnya, T pernah ketinggalan truk yang ia kerneti akibat terlelap di dak. T hidup sangat susah, ia bahkan tidak punya uang untuk membeli baju. Baju yang ia pakai untuk kuliah dan sehari-hari adalah baju pemberian dari pedagang-pedagang di pasar. Kaos promosi yang bertuliskan merek sabun, penyedap rasa dan kecap. Itulah bajunya kuliah. Boro-boro untuk beli baju, untuk makan saja sulit. T hanya sanggup bertahan dengan pekerjaan ini selama 3 bulan. Meskipun hasilnya lebih banyak dari menjadi security atau ojek, tapi pekerjaan ini sangat melelahkan, karena ia merangkap kernet sekaligus kuli angkutnya untuk mendapatkan uang tambahan.
Kebiasaannya untuk mengirim lamaran pekerjaan ke 3 tempat setiap hari masih ia lanjutkan. Berikutnya, T dapat panggilan dari 2 tempat. Bank dan finance. Tapi ia lebih memilih untuk bekerja di finance. Di finance ini, ia bertahan hingga 1 tahun menjadi petugas lapangan. Debt Collector.. T menyebut dirinya saat itu adalah tukang tarik. Keras, kasar, no mercy.
Saat saya tanya pengalaman menariknya saat menjadi debt collector di finance tersebut, matanya menerawang. Ada debiturnya yang sulit untuk ditemui, ia sudah menunggak 6 bulan cicilan. Kendaraan yang dibiayai pembeliannya, sekaligus menjadi jaminan utang atas pembiayaan tersebut selalu dalam pagar yang terkunci. Seolah jalan buntu untuk menarik obyek jaminan tersebut, maka ia memutuskan untuk masuk lewat plafond rumah si debitur. Sayangnya, upayanya ketahuan dan ia diteriaki maling. Pemilik rumah membawanya ke kantor polisi dan ia sempat ditahan 1x24 jam. Untunglah T dilepaskan setelah ditahan 1x24 jam, setelah ia menjelaskan semuanya. T mengatakan pada Polisi yang menangkapnya bahwa ia bekerja untuk bisa makan, bertahan hidup. Ia hanya melaksanakan perintah perusahaan untuk membawa kembali obyek jaminan tersebut karena debitur tidak beritikad baik, karena selama menunggak 6 bulan itu, debitur menghilang begitu saja. Tidak bisa dihubungi dan tidak membayar sedikitpun. Saat ditahan itu, T malah balik bertanya pada Polisi tersebut, apakah Kepolisian akan melindungi hak-hak orang yang memberikan pinjaman/kreditur dari debitur-debitur nakal yang tidak beritikad baik? Dari diskusinya seharian dengan kepolisian yang menahannya, malah akhirnya setelah lepas tahanan dalam 1x24 jam, ganti ia yang minta perlindungan polisi untuk mengambil kendaraan yang jadi obyek jaminan tersebut dari debitur yang membawanya ke kantor Polisi tadi. Langkah-langkah pengamanan yang ia ambil mirip dengan apa yang dinyatakan dalam Perkapolri 8/2011. Langkah yang telah ia fikir dan ambil saat jadi “tukang tarik” di sekitar tahun 1993-1994 an, jauh sebelum peraturan itu ada.
Kehidupannya menjadi debt collector saat itu benar-benar keras. Apa yang ia lakukan seringkali tidak mempedulikan keselamatan dirinya. Hanya karena sekedar ingin bertahan hidup. Perjuangan yang tidak mudah. Pekerjaannya kerap mengundang dilema dalam hatinya. Perasaannya yang tidak ingin melihat kesedihan orang lain saat ia harus menarik unit, bertarung dengan keharusannya mencari uang untuk bertahan hidup. T hanya dibayar bila berhasil menarik unit. Itulah yang menyebabkannya bekerja dengan pertarungan hati. Ia harus menyimpan rapat-rapat perasaannya.
Di tahun 1994 an itu, T berhenti kerja. Saat mau menyusun skripsi, ternyata malah dapat panggilan dari sebuah perusahaan finance lain. T bersaing dengan 600-700 an orang dalam seleksi marathon itu. Dan akhirnya, dari situ, lolos 40 orang. Lalu menjalani tes kesehatan dan terakhir tes wawancara. Saat itu ia melamar untuk posisi collector. Ketika T diinterview, yang menginterviewnya menanyakan apa yang ia ketahui tentang profesi collector. T muda taunya cuma satu: TUKANG TARIK. Agak lama mereka berdiskusi mengenai itu, karena interviewer dari finance tersebut meluruskan apa sebenarnya debt collector tersebut. Debt collector bukan tukang tarik, tapi membantu debitur dengan membantu mengambil pembayaran tagihan langsung ke debitur. Tapi, T tetap bersikeras kalau ia taunya dan maunya hanya jadi TUKANG TARIK, karena hanya itu keterampilan yang ia kuasai di finance sebelumnya. Melihat semangat dan perjuangan T, interviewer tadi malah mencoret lamaran T. Ia mengubah lamaran T. Dari lamaran mengisi posisi collector, menjadi executor. Bagian yang tadinya belum pernah ada. Jadilah si T executor di finance tersebut.
Mulailah babak baru dalam kehidupan T. Saat itu, sebagai executor, gajinya hanya Rp.175.000,00. Tidak ada insentif atau fee setiap menarik unit. Tapi T bekerja dengan penuh loyalitas. Baginya tak ada jam kerja. T bisa menarik 3-4 unit mobil setiap harinya. Dimanapun unit itu berada, ia cari. Mau mobil, truk hingga dump truk bukan masalah untuknya. Cari, kejar dan serahkan pada perusahaannya. Sebagai gantinya, sang pimpinan yang bijaksana, selalu mengajaknya makan setiap hari, memperlakukannya dengan baik dan perhatian padanya. Dia dulu yang menginterview T.
Sampailah ia pada tugas mendatangi debitur di daerah Ancol. Berdua dengan temannya naik motor, ia mencari debitur yang disebut saja M. Debitur ini sudah lama menunggak, dan jika nantinya ditagih tetap tidak membayar, maka dengan terpaksa unit yang ada pada M akan ditarik. Ada 3 unit mobil dalam satu kontrak si M yang rencananya akan ditarik. Dan pada saat datang di rumah M, T melihat 3 unit mobil tersebut ada dirumahnya.
Ternyata M sudah berumur. Ia keluar dari dalam rumahnya dengan menggunakan kursi roda bermesin. M mempersilahkan jika T hendak mengambil unit-unit mobil tersebut. Waktu itu M mengeluarkan statement kalau ia merasa janggal. Kenapa finance tempat T bekerja hanya mengejar pinjaman macet yang nilainya kecil, sedang pinjaman macet yang dalam jumlah besar tidak dikejar. Mengalirlah cerita dari M, bahwa ia adalah Komisaris dari perusahaan taksi milik anaknya yang pernah mengambil kredit pengadaan 600 unit taksi di perusahaan T dan kondisinya saat itu masuk dalam kriteria macet.
T penasaran, sesampainya di kantor ia mengecek kebenaran cerita M. Lalu setelah mencocokkan nomor kontraknya, ternyata cerita M tersebut benar. Dan terkejutlah pimpinan T, karena ia dapat menemukan M yang merupakan Komisaris diperusahaan taksi yang selama ini sudah lama tidak bisa ditemukan. Dan lebih terkejut lagi, karena berkat T inilah perusahaan taksi M yang pinjaman macetnya sangat besar tersebut, malah berniat membayar pinjamannya. Saat itu perusahaan M malah mengangsur pinjamannya hingga sekitar Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) per minggu.
M orangnya sangat murah hati, bahkan ia memberikan uang dollar Amerika pada T sebagai tanda terima kasih. T yang lugu dan jujur, malah menyerahkan semua uang pemberian M ke pimpinannya. Selain karena ia sama sekali tidak mengerti tumpukan kertas apa yang ia terima, meski tidak punya uang ia tidak tertarik dengan pemberian orang. Padahal waktu itu, uang yang diberikan M setara dengan Rp.20.000.000,00. T menolak pemberian M yang sangat besar nilainya. Padahal untuk menghandle M ini dia harus bertaruh nyawa. Bertengkar dengan kelompok preman yang dulu selalu mendapatkan uang dari M untuk tidak tagih pinjaman tersebut.
Berkat kejujurannya dan kemampuannya bernegosiasi, di tahun 1998 itu T ditarik masuk di back office. Bagian Remedial Operational di Jakarta. Lalu beberapa saat setelahnya ia dimutasi di suatu daerah di Jawa Barat. Tugas berat menantinya. Ia harus menghadapi dan menyelesaikan permasalahan tingginya angka kredit macet disana saat itu. Ini bukan tugas biasa. Kantor cabang mereka disana sering diserang massa dengan molotov. Hingga akhirnya kantor tidak bisa beroperasional dengan optimal karena harus buka tutup menghadapi ancaman molotov. Di daerah ini ia harus menghadapi suatu daerah dimana ada lurahnya yg bekerja sama melindungi orang-orang yang menggelapkan unit kendaraannya yang masuk daerah tersebut. Benar-benar susah menembus masuk daerah tersebut untuk mengambil unit. Di daerah sana pun, kepolisian dan lembaga pembiayaan terus menerus menghadapi demo terhadap lembaga pembiayaan. T tidak kurang akal, ia pun membuat banyak strategi untuk mengatasi serangan ini termasuk koordinasi dengan aparat penegak hukum. Saat ia menangani cabang inilah, titik balik kehidupannya.
T orang yang sangat keras, pantang menyerah dan tidak takut mati. Hingga saat menangani kasus khusus yang sangat berbahaya ini, T juga terbawa mengikuti ritme keras dari para “player” yang terus menyembunyikan unit-unitnya. Banyak gesekan dan emosi yang terjadi. T dan kawan-kawannya mengatasi dengan kekerasan pula. Hingga perjuangannya yang bertaruh nyawa saat itu, mengantarkannya pada suatu kecelakaan maut. T koma berhari-hari. Bahkan pimpinannya telah mencarikannya tempat untuk dimakamkan. Saat itu, telah mengalami pengalaman spiritual yang luar biasa. Ia sempat merasakan telah masuk ke alam lain dan dalam perjalanannya itu, ia dikawal. Tapi T tidak tahu siapakah itu. Untunglah Allah masih sayang padanya. Allah berikan kesempatan kedua untuk T memperbaiki hidupnya. T hidup kembali, sehat dan kembali bekerja. Tapi kali ini, T telah menjadi T yang berbeda. Kecelakaan itu telah mengubahnya. Mengubah cara pikirnya, mengubah cara hidupnya. T menyesali langkah-langkahnya selama i ni yang keras. Kali ini dia melakukannya dengan berbeda. Paradigmanya berubah. Ia menjadi lebih baik. Lebih banyak menggunakan kemampuannya dalam strategi dan negosiasi. Perjuangan T di cabang ini tidak sia-sia. Hingga akhirnya semua permasalahan di cabang ini berhasil ia selesaikan. Ia juga mampu menarik 6 unit setiap harinya. Lagi-lagi T membuat prestasi dan ia dinobatkan perusahaan sebagai yang terbaik di bagian Remedial.
Tahun 2002-2005 T dimutasi di Bandung, lalu tahun 2005-2007 ia mutasi lagi di Lampung. Di Lampung ini, T mendapatkan tantangan berat. Ia harus menyelesaikan kasus MLM yang memanipulasi dokumen dan debitur palsu hingga perusahaan dirugikan sekitar 4.000 unit. Tidak kurang akal, sahabat saya inipun sanggup mengatasi tantangan ini dengan keuletannya dan mengembalikan kesemua unit tersebut ke perusahaan. Luar biasa. Bayangkan, bagaimana membawa 4.000 unit ini kembali ke perusahaan pembiayaan tempatnya bekerja. Butuh banyak orang untuk membawa ribuan unit-unit tersebut dan tempat yang luas untuk menampung hasil tarikannya. Ini prestasi yang luar biasa.
Tahun 2007, T mutasi ke Surabaya. Di Surabaya inipun ia menggunakan tangan dinginnya untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan kredit macet. Membuat inovasi-inovasi baru dalam cara dan teknik penagihan maupun penarikan unit.
Ketika saya tanyakan apalagi hal-hal menarik yang pernah ia alami, mengalirlah satu lagi kisahnya yang membuat saya kagum akan cara berfikir dan strateginya. Ada satu lagi debitur yang sudah beberapa tahun menghilang. Unit yang dibiayai dan dijadikan jaminan pembiayaan tersebut adalah 1 unit BMW. T akhirnya turun tangan untuk mencari unit tersebut. Alamat yang ia datangi, kosong. Hanya ada pembantu yang menjaga rumah tersebut. Setiap kali ditanya, pembantunya selalu menjawab tidak tahu dimana keberadaan bossnya. Masih ada atau tidaknya bossnya itu, si pembantu selalu katakan tidak tahu. Tidak ada kontak menurutnya. Ia hanya diberi uang setiap bulan sekali oleh saudara si debitur, dan itu pun tidak mesti kapan datangnya. Ia juga menjawab tidak tahu rumah dan telpon saudaranya maupun keluarga debitur lainnya. Semua seperti jalan buntu. Tapi, bukan T jika ia kehabisan akal. T dapat ide. Ia minta dipesankan kantornya, karangan bunga ucapan berduka cita telah meninggalnya sang debitur. Disitu diberikan nama dan nomor telepon T.
T tidak salah strategi. Umpannya kena. Pada akhirnya ia dapat telepon dari Singapore. Debitur yang hilang beberapa tahun itu meneleponnya sambil marah-marah karena dikirimi karangan bunga berduka cita atas meninggalnya si debitur. Kemudian, T menceritakan siapa dirinya dan tujuannya mengirimi karangan bunga. Si Debitur akhirnya bercerita bahwa saat itu terjadi kerusuhan besar Mei 1998. Dan ia melarikan diri ke Singapore. Mobil ia letakkan di bandara, lalu diambil orangnya dan diletakkan di pabriknya. Dia tidak berani pulang ke Indonesia. Tapi, dia berniat bayar. Solusinya, akhirnya si debitur minta jaminan keselamatan. Ia akan datang ke Indonesia. Bayar sendiri, lalu pulang langsung ke Singapore. T siap memberikan jaminan keselamatan padanya. Ia janji jemput si debitur di bandara. Si debitur memberikan ciri-cirinya dan T memberikan ciri-ciri palsu. Lalu, setelah pesawat si debitur mendarat, ia memperhatikan setiap penumpang yang keluar. Dengan memberikan ciri-ciri palsu, ia bisa mengamati gerak gerik si debitur terlebih dahulu. Baru setelah beberapa saat, T hampiri si debitur dan mengajaknya ke kantor untuk langsung melakukan pelunasan. Betapa senangnya si debitur karena permasalahannya langsung beres hari itu dan ia bisa balik Singapore dengan membawa BPKB BMW nya pula. Lagi-lagi, si debitur memberikan uang dollar yang cukup banyak untuknya sebagai ucapan terima kasih untuk T, dititipkan si debitur melalui kantornya. Dan lagi-lagi pula, T tidak menerimanya.
Sambil menahan kesakitan akibat benturan pada kakinya saat futsal, Pak T saya tanya mengenai kehidupan pribadinya. Saya coba mengorek sisi lainnya. Lelaki ramah yang sangat sayang pada keluarganya ini menceritakan juga kisah pertemuannya dengan pujaan hatinya yang kini menjadi istrinya yang sangat setia dan telah mensupportnya dengan luar biasa. Mereka bertemu di kampus. Saat itu Pak T adalah senior yang mengospek. Kala itu, ia menyuruh gadis cantik yang meminta tanda tangannya untuk menyanyikan 3 lagu. Tapi dia tidak bisa. Terus, pada waktu main game, gadis cantik ini yang mahasiswa baru disuruh mengisi drum air yang nantinya untuk keperluan para mahasiswa baru sampai penuh. Padahal T nakal. Ia sudah lubangi drumnya dan sambungkan selang ke drum senior-senior sehingga senior-senior tidak perlu lagi capek mengisi drum. Akibatnya sang gadis harus mati-matian mengisi air dalam drum hingga penuh. Dari situlah mereka mulai dekat. Apalagi sang gadis ternyata dari Lampung pula. T yang keras dan bandel, tertaut hatinya pada keceriaan dan kebaikan hati sang gadis. Mereka hanya berpacaran 3 bulan, lalu menikah. Mereka menikah setelah Pak T masuk back office tahun 1998 dan sudah punya rumah sendiri saat itu.
Meskipun pekerjaan mereka selalu berhubungan dengan pinjaman macet dan penarikan unit. Mereka juga manusia biasa yang juga banyak masalah. Siapa kira debt collector dan executor tidak menghadapi permasalahan keuangan juga? Siapa kira ia tidak harus menghadapi tagihan-tagihan? T yang keras dan mandiri, adalah anak yang berbakti. Ia sangat menyayangi kedua orang tuanya. Kala itu, Ibu T telah tiada. Ayahnya hidup sendiri dirumahnya. Kebetulan rumah ayahnya dijadikan jaminan utang saudara kandung T di Bank setempat di Lampung. Karena saudaranya yang berutang itu kesulitan keuangan, ia tidak mampu lagi membayar angsuran. Akibatnya rumah ayahnya di police line dan di sita Bank. Begitu mendengar ayahnya dipaksa keluar dari rumahnya, kemarahan T menggelegak. Ia marah luar biasa. Tidak terima ayahnya yang sudah sepuh dan sangat ia sayangi, terusir keluar dari rumahnya sendiri. Saat itu ia langsung pulang ke Lampung dan berjanji membereskan utang saudaranya pada Bank. Hanya satu cara untuknya. Ia harus menjual rumah dan mobil Timor satu-satunya milik mereka di Jakarta. Itu satu-satunya harta yang ia punya. Ini dilema. Ia tidak ingin istrinya yang ia kasihi sedih dan menderita akibat keputusannya ini. Tapi istrinya yang berhati mulia ini tidak berkeberatan rumah dan mobilnya dijual demi menolong ayahnya. Benar-benar istri yang sangat berbakti. Tidak semua istri bisa begitu.
Akhirnya satu-satunya rumah dan mobil mereka dijual. Ayahnya pun bisa tenang menempati kembali rumahnya. T dan istrinya pun mengontrak. Kemana-mana naik motor lagi. Tapi mereka bahagia sudah melakukan hal yang tepat untuk ayah. Kesehatan dan kebahagiaan sang Ayah lebih utama. Rizki bisa dicari, tapi bakti pada Ayah tidak bisa diulang lagi. Mereka ingin memenuhi sisa usia Ayah dengan kebahagiaan. Siapa sangka dibalik kekerasan hatinya, ternyata T adalah anak yang sangat berbakti.
Ia pun ayah yang sangat lembut dan sayang pada keluarga kecilnya. 2 anak mereka, adalah prioritas bagi T. Anak-anaknya pun sangat dekat dengannya. T, lelaki yang hidup di dunia keras tapi berhati baik ini sahabat yang saya kenal commit. Loyalitas pada perusahaan tinggi, tidak diragukan lagi. Ia mendedikasikan hidupnya pada keluarga dan pekerjaannya, tapi ia juga selalu berusaha meningkatkan kemampuannya di segala bidang. T sempat kuliah lagi dan juga sudah lulus. Saat ini kesibukannya selain yang berhubungan dengan keahliannya di bidang negosiasi dan strategi, T juga mengajar di cabang-cabang finance tempatnya bekerja. Ia keliling Indonesia untuk membantu cabang-cabang. Saat saya tanya apa ia sudah puas dengan pencapaiannya. Pak T merasa belum puas. Masih banyak pencapaian yang ia ingin lakukan. Saat ini ia ingin memiliki usaha di kampung halaman untuk masa tuanya dan mencapai tantangan baru. Dia tertantang untuk menjajal kemampuannya masuk di bidang audit dalam perusahaan finance yang telah ia ikuti dengan setia selama puluhan tahun.
Apa pegangan hidup yang Pak T selalu ikuti?
“Petuah ayah.. Ayah selalu bilang bahwa dalam hidup saya harus memperhatikan nasihatnya. Yaitu:
1. Jangan suka bermain-main dengan pinjaman Bank
2. Di dunia, kalau punya masalah, itu adalah akibat perbuatanmu sendiri.
3. Selama hidup, kalau tidak bisa membantu orang tua atau keluarga, maka itu berarti sudah “mati”
itu yang Ayah selalu katakan dan saya jalankan..."
Jika waktu bisa kembali, apa yang Pak T ingin lakukan? Adakah masa lalu yang ingin Pak T benahi atau hapus dalam hidup Pak T?
Sesaat ia terdiam. Matanya berkaca-kaca....
“Ibu.. saya belum bisa membahagiakannya saat ia masih hidup. Saya hanya bisa membantu Ibu dengan mengerjakan beberapa pekerjaan sederhana di rumah. Mengantarkannya ke pasar.. Hanya itu. Tidak lebih.. Andai saya bisa membahagiakannya sebelum Ibu meninggal...” Ceritanya tulus. Saya bisa rasakan itu. Tanpa terasa airmata saya turut mengalir mendengarkan kerinduannya pada sang Ibu...
Sesaat sebelum saya berpamitan, tiba-tiba ganti Pak T yang bertanya kepada saya.. "Mengapa tertarik untuk menulis kisah hidup saya?"
Hmmm, ganti saya yang diinterview. Mengapa? Karena saya tertantang untuk menyuguhkan kenyataan pada masyarakat. Bahwa tidak semua orang yang menjadi debt collector ataupun executor itu adalah orang-orang yang hanya bisa mengandalkan fisik saja. Bukan pekerjaan yang hanya membutuhkan keberanian dan melakukannya dengan kekerasan. Tapi seorang debt collector atau executor harus memiliki skill yang memadai, pola pikir yang baik, cara-cara santun dan memiliki solusi disamping harus ditunjang dengan kepedulian perusahaannya untuk memback up serta meningkatkan kemampuan personilnya. Debt collector atau executor juga manusia biasa yang dalam melaksanakan tugas pekerjaannya penuh dilema dan tidak lepas dari permasalahan-permasalahan kehidupan atau permasalahan keuangan yang membelitnya. Mereka manusia biasa yang sesungguhnya penuh bakti dan cinta pada keluarga. Dan saya melihat Pak T adalah figur yang lengkap untuk menjadi inspirasi dan contoh.
T, lelaki muda yang harus berjuang bertahan hidup di kerasnya ibukota. Kerasnya sikap dan hidupnya, seperti cangkang yang melindungi hatinya yang lembut. Perjuangannya untuk bertahan hidup telah memberikannya pengalaman yang luar biasa. Meski hidupnya sulit dan tak ada uang di tangan, tidak mengubahnya menjadi serakah dan tidak jujur. Kegigihan, loyalitas dan kejujurannya telah mengangkatnya naik. Orang menghargainya karena itu.
Baktinya pada ayah ibu..., cinta dan kasih sayangnya pada keluarga, sungguh berbeda dengan kerasnya pekerjaannya. Kesulitan hidup telah membentuknya menjadi pribadi yang saya kenal saat ini. Ini sisi lain T, mantan tukang tarik yang telah mengubah paradigma hidupnya dan memutuskan untuk bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.
Memang debt collector ataupun executor adalah profesi keras yang menantang bahaya. Terkadang nyawa menjadi taruhannya. Mungkin banyak orang menjalankan profesi ini seperti image dalam masyarakat. Keras dan kasar. Tapi sahabat saya T telah mendapatkan titik balik dalam kehidupannya. Kecelakaan yang menimpanya telah membuatnya berubah. Dalam menjalankan profesinya, ia lebih mengedepankan negosiasi dan strategi yang baik. Mengikis cara-cara lama. Ia beruntung menemukan pimpinan yang bijaksana dan memimpinnya dengan penuh kasih. Ia bisa membuktikan bahwa ada cara-cara lain yang santun dan jauh dari kekerasan untuk bisa menjadi hebat. T juga bisa menunjukkan, bahwa meskipun hidupnya didedikasikan untuk keluarga dan pekerjaannya, ia tidak lupa untuk terus meningkatkan kemampuan dirinya, terus berkembang menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Bersyukurlah T yang memiliki istri yang berhati mulia dan dikaruniai anak-anak yang selalu support. Ikhlas mau berjuang bersamanya dalam suka dan duka adalah berkah baginya. Mudah-mudahan kisah Pak T ini dapat menginspirasi sahabat-sahabat lain yang bergelut dalam profesi yang sama.
Semoga segenap cita-cita dan harapan baik Pak T selalu diberkahi Allah...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H