Feminisme adalah Penyimpangan!
Cover
https://pixabay.com/id/photos/feminis-berbaris-protes-wanita-4700823/
"Benarkah feminisme adalah sebuah penyimpangan?" Merupakan pertanyaan yang diajukan oleh seorang warganet di salah satu komunitas di platform media sosial X beberapa waktu yang lalu. Warganet tersebut mengaku bahwasanya pertanyaan itu dilandasi oleh penuturuan guru sosiologi di sekolah menengah tempatnya menempuh pendidikan.
Pertanyaan ini kemudian menyulut reaksi berbeda-beda dari warganet lainnya hingga berujung menjadi perdebatan panjang yang penuh dengan pro dan kontra. Pihak yang pro terhadap pertanyaan ini melandasinya dengan bagaimana feminisme berpihak bukan hanya kepada perempuan tetapi melebarkan sayapnya ke arah perjuangan gender dan kaum minoritas lainnya (dalam hal ini LGBTQ) yang dianggap menyimpang dari sudut pandang keyakinan tertentu. Ada pula yang beranggapan bahwasanya feminisme telah membuat perempuan memasang standar tinggi kepada pasangannya, mau menang sendiri bahkan sampai membuat konten menolak menikah sebagaimana yang baru-baru ini viral yaitu 'Marriage is scary'.
Sementara di sisi lain pihak yang kontra dengan pernyataan tersebut secara terbuka menyampaikan kekecewaannya terhadap guru dari warganet tersebut. Terlebih beliau yang merupakan seorang guru sosiologi dianggap terlalu terburu-buru dan dangkal dalam menilai sesuatu. Pun dalam mempelajari sosiologi, rasanya kurang etis bila kita hanya melihat sesuatu berdasarkan norma dan nilai pribadi. "Atas landasan apa sang guru bisa mengambil kesimpulan bahwasanya feminisme adalah sebuah penyimpangan? Penyimpangan dalam hal apa? Fenomena apa yang sedang dijadikan landasan penelitian? Dan dalam sudut pandang atau teori apa sesuatu itu dilihat?"
Namun sebelum ikut marah-marah, ada baiknya kita mencoba melihat hal ini dari sudut pandang lain. Mencoba berpikir positif dan tidak langsung menyerang sang guru.
Apa itu feminisme?
Sama seperti isme-isme lainnya, feminisme merupakan salah satu dari banyak cabang sosiologi. Teori ini pada awalnya muncul sebagai reaksi atas ketidakadilan gender yang dialami perempuan baik dalam hak ekonomi, politik maupun sosial. Feminisme sendiri terus berkembang dari tahun 1960an hingga hari ini dengan berbagai cabang yang masing-masing mengfokuskan perjuangannya pada hal-hal yang lebih spesifik dan berbeda seperti feminis liberal, feminis radikal, feminis marxist, ekofeminis dan lain-lain.
Melihat sejarah feminisme yang memang lahir dari reaksi perasaan ketidakadilan pengalaman perempuan, agaknya tidak terlalu keliru ketika feminisme di sebuat sebagai penyimpangan. Namun, jelas bahwa dalam pernyataan si guru dari warganet tersebut bukanlah mengarah ke sini melainkan penuh tendensi ke arah yang berbeda.
Penyimpangan Sosial
Perlu diingat bahwasanya dalam sosiologi arti kata penyimpangan tidak selalu bermakna negatif sebagaimana yang selama ini dipikirkan oleh kebanyakan orang. Ada kalanya sebuah penyimpangan justru membawa ke arah yang lebih baik atau yang biasa disebut sebagai penyimpangan positif.
Dalam mempelajari penyimpangaan sosial kita perlu terlebih dahulu untuk melihat norma dan nilai yang berlaku di dalam masyarakat tersebut. Di sini juga perlu ditekankan bahwa setiap masyarakat memiliki norma dan nilainya sendiri yang antara satu dengan yang lain bisa saja sangat berbeda.
Feminisme telah melanggar nilai dan norma agama di Indonesia
Berdasarkan paparan di atas tentu kita telah menyadari bahwasanya feminisme sendiri lahir dari keresahan perempuan pada konsep ketidakadilan gender. Yang bisa dianggap bahwasanya perempuan pada masa atau era tersebut mencoba melakukan perlawanan pada norma dan nilai masyarakat barat yang pada waktu itu menganggap perempuan sebagai manusia kelas sekian.
Namun, melabeli feminisme sebagai penyimpangan tanpa argumen yang jelas terlebih dilakukan oleh pengajar sosiologi itu sangat tidak bisa dibenarkan. Bagaimana mungkin seorang guru justru mengerdilkan apa yang sedang dia ajarkan kepada siswa-siswanya?
Apabila seorang guru tidak setuju pada salah satu ide atau cabang dalam feminisme bukan berarti dia lantas diizinkan untuk menghakimi feminisme secara keseluruhan.
Feminisme membuat perempuan memasang standar tinggi pada konten di media
Jikalau dikatakan bahwa feminisme telah membuat perempuan takut menikah, perlu diulik kembali lebih dalam mengapa hal tersebut dapat terjadi. Mungkinkah karena feminisme atau ada kondisi lain yang melandasinya?
Pun memang kita tidak memungkiri bahwa di media sosial sekarang ada banyak orang memanfaatkan nama feminisme demi keuntungan pribadi, tetapi jelas bahwa ini bukan kesalahan feminisme itu sendiri. Layaknya kapitalisme dan isme-isme lain, kesuksesan dan kegagalan feminisme bisa dipengaruhi oleh banyak faktor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H