Mohon tunggu...
Ivan Yusuf Faisal
Ivan Yusuf Faisal Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Bukan jurnalis, hanya sharing. Rijks Universitêit de Gröningen, Ned

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perang Pertama Togog

8 Maret 2018   01:13 Diperbarui: 8 Maret 2018   07:53 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

"Ngene le, kamu tu harus bisa hidup Ngluruk Tanpa Bala-Menang Tanpa Ngasorake(berjuanglah sendiri tanpa membawa massa, menanglah tanpa harus merendahkan dan mempermalukan) dan sebisa mungkin jadi Sugih Tanpa Banda, Digdaya Tanpa Aji(kaya tanpa harus tampak berharta, berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan, kekayaan, dan keturunan). Apalah arti dirimu kalau hidup masih mengandalkan orangtua, apalah arti dirimu kalau merasa memiliki, tapi merendahkan mereka yang tidak punya apa-apa." Togog memaparkan pendapatnya layaknya ustad kondang di tv yang enggan berceramah kalau bayaran belum sampai rumah.

"Ngelu ndasku kangmas, ndak paham sama omonganmu. Di chat wa aja kang". Ucap Prabu Wisanggeni bersiap lari menghindari lemparan batu Togog yang sebal.

"Wolha asuu". Dilemparnya batu kearah Wisanggeni namun tidak kena. Jarak lemparan Togog hanya 5 meter karena obesitas, sedangkan Wisanggeni berjarak 10 meteran. Titisan Dewa yang berlemak.

"Sori-sori kangmas, haha. Oiya, menurut njenengan apa kelebihan njenengan dibanding Sang Hyang Manikmaya alias kangmas Semar?" Wisanggeni kembali ke trahwibawanya, bertanya serius ke Togog.

"Umur". Jawab Togog pendek

"Wolhaa matamuukangmas. Dewa kok ngambekan". Prabu Wisanggeni balas pendek.

"Ngene le, beda paling mencolok, ya dia menjadi pengasuh para Ksatria, sedangkan aku pengasuh para Buta. Dia dapet tugas enak, mengasuh Pandhawa yang tanpa diasuh sudah baik. Lha aku disuruh ngasuh Kurawa yang dari lahir patrapnya kaya asu. Tapi makin kesini, sebenernya Pandhawa sama saja kaya Kurawa, ngerebut Astina, membunuh banyak orang. Urip iku wang sinawang (hidup itu enak atau tidaknya tak tampak selama tidak bersukur), le. Cuma ya gitu, mereka jago pencitraan." Ujar Togog.

"Kenapa njenengan ndak kembali saja ke Kahyangan? Moksa disana? Ngapain repot2 ngurus dunya yang bebal?" Tanya Wisanggeni heran.

"Aku bisa aja kesana. Tapi wibawa ku hancur lebur di kayangan nantinya. Biarkan aku titip kayangan pada adikku saja Batara Guru. Wibawa lelaki, ada di apa yang dia kerjakan, le. Kalau kamu kaya dan punya semua, tapi hidup dari jejak orangtua, kamu mungkin bahagia, tapi tidak berwibawa. Coba kamu kayak aku turun ke bumi gini, kamu mungkin akan menapaki indahnya hidup dari biasa saja dan kembali ke Nirwana dengan bahagia, tapi Moksa dengan wibawa. Ajining pria seko panggawe lan patrap marang wanita(kewibawaan lelaki ada di pekerjaan dan perbuatan pada wanitanya)." Papar Togog.

"Ayo kangmas, kita cari suara Pekikan itu barengan." Wisanggeni berdiri gagah, membusungkan dada, memegang senjata digenggaman tangannya.

"Ndakusah, aku disini aja Prabu. Aku sudah menemukan asal suaranya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun