"Ya, ndak to le. Kalau Togog susah, rusak nanti tatanan ini", ucap Semar pada anaknya.
Sela cerita, tingkah Gareng seperti tidak sedang asyik mendengarkan. Dia malah menggores-goreskan kertasnya. Seperti menggambar kedua tokoh di depannya yang tidak segagah dulu, kini dua sosok dihadapannya itu layu dan ompong, keropos dimakan asam garamnya dunia, keok disapu angin yang tak lagi berpihak lagi pada rasa hati keduanya.
"Sedih itu, nggak apa-apa Kang, asal jangan susah" tutur Semar
Mata Togog yang besar itu memancarkan cahayaseolah terus dihantui rahasia "Dulu, kini dan yang akan terjadi, semua harus berubah.Berubah. Semua memang sudah berubah, Mar"
"Sekarang zaman serba canggih Pak De. Internet di mana-mana, orang tambah pinter." sela Bagong lagi.
Mulut Bagong kini ditabok Petruk. "Mingkem o"
Lanjut Gareng "Heeh, yang bodoh dan dungu juga banyak, Su"
Memang begitu tabiat ketiga anak Semar, mereka memang suka ricuh, tapi mereka juga bisa sangat takdzim mendengarkan. Bagong terpaksa diam biar tidak dilanggar haknya lagi oleh saudaranya. Petruk dan Gareng juga terlihat serius kembali memperhatikan percakapan atas kedua mantan Dewa itu.
Togog tenggelam dalam ingatan lalunya. "Dulu, sewaktu kita jadi Dewa, semua serba enak. Tapi semua kayak dibalik sekarang. Wolak-waliking jaman. Hanya sebagai abdi, momong orang. Bawaannya dimarahi, disalahkan. Deritanya setelah jadi manusia biasa itu seperti ini ternyata. Semua dibuat susah. Enakan Bathara Guru, Di. Pasti hidupnya serba kecukupan di Kahyangan" resah Togog.
Gelagak Semar berbeda, sambil membenarkan posisi duduknya dengan nada tinggi ia menyanggah "Kok saged Kang?"
"Pikiren, cobak"