Keduanya inipun jalan reruntutan, Petruk menjadi penunjuk arah, Togog dibelakang membututi. Sepanjang jalan Petruk seperti sedang berenergi untuk mencerca pamannya yang sudah bertahun-tahun tidak mampir ke rumahnya. Dari urusan keluarga, pemerintahan hingga perjalanan sunyi menujuujung lahat di tanyakannya seperti tak lelah-lelahnya.
Gubuk itu dari luar nampak kecil. Ukuran minimalisnya meyorong sebuah warna kedamaian, seperti kata orang, pemiliknya bukanpembesar, bukan aktor terkenal, namun kebanyakan orang takdzim pada kesepuhannya.
Dan nampak dari kejauhan, dua orang berperawakan agak tambun besar dan tinggi kerempeng itu menjejakkan kakinya memasuki salah satu pintu rumah, seisi rumah seperti sedang bahagia menyambut kedatangan keduanya.Dari jauh keduanya seperti angka 10 yang bergerak.
Dari dalam, tirai itu terbuka, si gendut berperut lebar yang membukanya. Matanya masih keyip-keyip, rambut yang nampak memutih itu seperti tak siap untuk menerima tamu, acak-acakan tidak tersisir, Semar menguap dan membenarkan posisi sarungnya.Tak disangka, Semar tak merasa ada tamu penting, namun memang mata bening Semar tak salah orang. Tamunya adalah kakaknya sendiri, Sang Tejamaya atau dikenal dengan Ki Lurah Togog.
Sergahnya dengan segera "Ealah,..Kakang to ini tadi, pantesan rame." Hati Semar berbunga, wajahnya sumringah dengan senyum lebar meneduhkan. Dia lantas memeluk kakaknya itu, "Ealah, malah terlihat sama tuanya, mrongos semua" Â peluk hangat "Sehat, kan Kang ?".
Acara sambut kangen itu usai. Semar dan anak-anaknya Gareng, Petruk dan Bagong duduk santai di gelaran tikar ruang tamu di temani dering lagu-lagu melodi klasik yang diputar oleh Petruk.
"Aku kesini ini ada perlu sebenarnya Mar" sambil jeda menyalakan korek untuk rokoknya yang sudah terapit bibir lebarnya. "Dirimu kan tahu to, sekarang apa-apa nampak susah. Ini susah, itu susah, semua serba susah, orang-orang tingkahnya susah semua" kepul asap rokok Togog seakan ikut berekspresi.
Giliran Semar membalas kepul asap rokok Togog itu dengan meniup-niup kopi hitam kental di depannya. Dan di sruputlah pada ujung lepeknya.
"Sampeyan kog, malah ikut-ikut susah to Kang, Kang ?", ucap Semar.
Mulut Togog malah nampak makin mancung seperti paruh burung bangau kalau cemberut.
"Pak Dhe ini, pengangguran pasti. Dia berkelana karena susah. Iya to Pak De ?" tanya Bagong yang duduk di sisi kanan Semar sambil ikut mengamati raut wajah tua pamannya itu.