"Kok sampeyan masih bisa tertawa lepas," sindir Bagong
"Emang haruse gimana bro?" tanya Togog. Tentu saja dia ketawa, wong yang dihadepin pawakannya lucu kaya Bagong.
"Orang Kayangan ga seserius yang kamu bayangin. Kami suka tertawa juga, bahkan dalam kondisi yang tidak patut untuk tertawa."
Togog terdiam sejenak. Mencoba merenungkan teguran Bagong itu.
Memang di waktu senggang dari aktivitasnya, Togog biasa mengisinya dengan obrolan santai dan tentu saja dengan bumbu candaan, guyon kere, bahkan kadang terlepas keterbahakan. Dan itu sudah membudaya. Dalam kondisi apapun.
Sangat berbeda halnya dengan makhluk-makhluk di Alengka atau Pringgondani yang selalu bertampang serius dalam segala hal, termasuk lawak sekalipun.Â
Mungkin kalo di bumi sama kayak tidak adanya tampang ekstra-ekspresi pada film Friends, atau bahkan serial Mr Bean sekalipun. Sedikit ekspresi dari bintangnya cukup bisa diterjemahkan sebagai kelucuan, ketololan, dan pemicu tertawa lainnya. Entah karena otot mereka lebih keras atau memang budaya lawaknya yang berbeda. Namun anehnya kita juga tertawa dengan lawakan versi mereka.
Termasuk sekarang. Ini adalah situasi yang tidak begitu baik bagi Togog. Hatinya dihancurkan kekasih, dan kekasihnya tega hati posting di instagram dengan siapa dia akhirnya memilih setelah hengkang dari Togog. Dan nyatanya, Togog masih bisa terbahak sambil berpeluh menggulung tembakau pegunungan Gohkarna dengan papir dari Hutan Indraprasta.
Dan Togog kembali merenungkannya. Haruskah?
"Piye ta gog? Mbok ya aku diajari. Sapa tau lemakku ikutan rontok pas ngguyu. He he he-he". Ucap Bagong sambil garuk garuk keleknya.
"Gong, jangan salah tangkep. Ngguyu adalah bagian dari pelemasan urat. Jadi ya nda ada maksud untuk bergembira di atas penderitaan diri sendiri, atau bahkan menertawakannya. Itu tetap saja keji."