Kekasih, ku tuliskan pesan ini padamu yang tak percaya bahwa Jogja adalah tempat terindah yang kelak kau kunjungi.
Kasih, pada suatu sore yang biasa, aku pernah menanyakan kabarmu dari angkringan di selatan Pasar Kotagede, di tepian jalan, persis depan mural fenomenal yang mungkin kau kenal ketika kau menonton film-film kesukaanmu. Aku tak berdusta. Kau mungkin tak akan merasakan nikmatnya beberapa hal ini ditempat lain. Sesapan teh hangat, beberapa potong gorengan, sekedar sebatang-dua batang sate usus, ataukah nasi sambal teri dengan karet merah yang berharga seribulimaratus, saat syahdu dinginnya gerimis Kotagede kala senja mengiring.
Kukira itu sudah cukup sempurna, sampai akhirnya reda hujan diluar terpal angkringan berganti dengan deras turun air mata rinduku, kekasih.
Atau pernahkah kau lupa bagaimana ceritaku perihal indahnya pasir putih pantai Indrayanti, cintaku? Sejujurnya aku berdusta. Pantai selatan ini tak benar-benar menghadap selatan. Dia menghadap condong ke barat. Aku sudah beberapa kali bertanya pada pantai ini mengapa ia menyondongkan diri kearah senja.
Dan kau tau kasih? Dengan congkak ia berkata: "Bawalah kekasihmu, biarkan aku, Indrayanti, beradu indah dengan tatap teduh Putri-mu"
Kekasih, jika kau bertanya dimana tempat paling romantis di Jogja, maka akan kujawab Lempuyangan. Kau mungkin hafal bagaimana caraku menikmati setiap denting suara panggilan ketika kereta akan tiba atau berangkat. Kau juga mungkin hafal bagaimana pejam mataku menikmati suara peluit kereta yang tiba. Tapi kau salah, kekasih. Yang aku suka dari Lempuyangan adalah karena disinilah semua cerita tentang orang yang singgah akan bermula, dan disini pula lah tempat terakhir orang memijakkan kakinya di Jogja untuk merayakan perpisahan.
Namun taukah kau yang paling membuatku gila pada tempat ini adalah khayalku melihatmu turun dari kereta melambaikan tangan padaku.
Kasih, beberapa kali kau bercerita perihal kacaunya kota lain karena perbedaan. Maka kemarilah kasih, kemarilah. Akan kubawa kau ke tengah Kotabaru, dimana Masjid Agung Syuhada dan Gereja Agung St. Antonius berbagi toleransi di tepi heningnya Kali Code, dua kilo dari hiruk pikuk magisnya Malioboro.
Dan begitulah kasih, perbedaan hanya sebuah cara Tuhan menyatukan. Jika memang perbedaan hanya sekedar perbedaan tanpa makna lantas mengapa kita saling mencinta, kekasih.
Sudah diluar kepala perihal tabiatmu yang sering terjaga menatap bulan, mengutuk jarak. Maka, kemarilah kekasih. Jogja tak pernah tidur meninggalkanmu dalam kesendirian. Kau perlu merasakan bahwa sendiri adalah omongkosong buatan orang barat yang tak mengenal cara Jogja mengasihimu. Kasih, disini kau boleh tetap terjaga sembari menikmati bagaimana hiruk pikuk babarsari yang seakan baru hidup ketika malam, pun dengan puluhan sepeda lampu yang bisa dikayuh mengitari alun-alun selatan, ketika alun-alun utara tak seramai ketika sekaten menjadi penanda bulan Mulud.
Namun apalah arti keramaian tanpamu, kekasih. Kewajaran itu kosong.
Aku pun sudah lelah bercerita padamu bagaimana keragaman anak muda dari berbagai daerah yang memutari bundaran UGM mencari makan malam. Juga tentang mereka yang tinggal disekitar Atmajaya, saat memilih baju bola klub idola di tepi selokan mataram seturan. Atau mereka yang sedang menawar sandal crocs didepan UNY. Jua bagaimana mahasiswa yang berorasi gagah didepan pertigaan UIN itu.Â
Dari ribuan mereka, aku selalu tertarik pada mereka yang berasal dari daerahmu, untuk sekedar menitip salam karena kutakut rindu yang terlalu dalam membentuk dendam.
Aku merindumu seperti Jogja, Kekasih. Yang sesederhana Pasar Bringharjo, atau seanggun ombak Parangkusumo.
Aku tidak berani mengatakanmu seistimewa Yogyakarta hanya karena aku mendengar bait serupa dari band lokal yang menyebut dirinya anak pemberani.
Yang paling sanggup menerjemahkan cinta hanyalah penantian, Kekasih. Â Aku lebih senang merasakan derita untuk dapat melihat senyum setiap kali bertemu.
Dalam peluk awan hitam menjelang senja, senyummu yang tak terurai waktu menghampiriku tanpa hadirmu. Dimana kau kini pujaanku ?
Jangan kau pelihara acuhmu padaku. Impianku hanya ingin menikmati senyum ringan mu kala senja tanpa gula, kekasih.
Maka dari itu, kutunggu kau di Jogja. Dialah yang menjagaku kala jarak menjadi candu yang membunuh, dan ia sok bijaksana berkata "Tak apa-apa tak bertemu, agar cinta punya jeda. Agar rindu punya waktu untuk berdo'a".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H