Aku pun sudah lelah bercerita padamu bagaimana keragaman anak muda dari berbagai daerah yang memutari bundaran UGM mencari makan malam. Juga tentang mereka yang tinggal disekitar Atmajaya, saat memilih baju bola klub idola di tepi selokan mataram seturan. Atau mereka yang sedang menawar sandal crocs didepan UNY. Jua bagaimana mahasiswa yang berorasi gagah didepan pertigaan UIN itu.Â
Dari ribuan mereka, aku selalu tertarik pada mereka yang berasal dari daerahmu, untuk sekedar menitip salam karena kutakut rindu yang terlalu dalam membentuk dendam.
Aku merindumu seperti Jogja, Kekasih. Yang sesederhana Pasar Bringharjo, atau seanggun ombak Parangkusumo.
Aku tidak berani mengatakanmu seistimewa Yogyakarta hanya karena aku mendengar bait serupa dari band lokal yang menyebut dirinya anak pemberani.
Yang paling sanggup menerjemahkan cinta hanyalah penantian, Kekasih. Â Aku lebih senang merasakan derita untuk dapat melihat senyum setiap kali bertemu.
Dalam peluk awan hitam menjelang senja, senyummu yang tak terurai waktu menghampiriku tanpa hadirmu. Dimana kau kini pujaanku ?
Jangan kau pelihara acuhmu padaku. Impianku hanya ingin menikmati senyum ringan mu kala senja tanpa gula, kekasih.
Maka dari itu, kutunggu kau di Jogja. Dialah yang menjagaku kala jarak menjadi candu yang membunuh, dan ia sok bijaksana berkata "Tak apa-apa tak bertemu, agar cinta punya jeda. Agar rindu punya waktu untuk berdo'a".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H